Tana Toraja…
demikian sebutan salah satu kabupaten dari 24 kabupaten di
Sulawesi-Selatan, terletak kira-kira 310 km arah utara Kota Makassar.
Sama seperti kabupaten-kabupaten lainnya, Tana Toraja mempunyai daya
tarik tersendiri, selain dari keindahan alamnya juga keunikan budayanya,
khususnya keunikan pada upacara pemakamannya (Rambu Solo).
Saat
ini penulis ingin bercerita mengenai upacara Rambu Solo yang diadakan
di Tongkonan Karuaya Lembang Tumbang Datu, Kec. Sangalla, Kab. Tana
Toraja. Upacara Rambu Solo yang diikuti merupakan upacara penghormatan
untuk Alm. Johannis Ne’Rapa, yang tidak lain adalah kakek dari penulis
sendiri.
Upacara
Rambu Solo mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Tana Toraja.
Upacara ini mengutamakan penghormatan terakhir kepada orang yang telah
meninggal dunia sebagai jembatan menuju surga (Puya) menghadap Sang
Pencipta. Namun, Rambu Solo ini juga memiliki peran sebagai ajang
pertemuan bagi saudara/i dan keluarga setelah sekian lama tak berjumpa.
Yaaa,,, tidak mengherankan apabila setiap akhir Desember serta awal
tahun, Tana Toraja ramai dengan upacara Rambu Solo. Demikian halnya
dengan Rambu Solo Ne’Rapa. Upacara Rambu Solo dari Ne’Rapa yang
meninggal sejak beberapa bulan lalu ini dilaksanakan 5 hari
berturut-turut dari tanggal 27 Desember 2010 dan berakhir dengan proses
pemakaman pada tanggal 01 Januari 2011, dimana seluruh anak dan cucu Alm
yang berada di Pulau Jawa dan Irian, dan Sulawesi khususnya, dapat
berkumpul mengikuti dan menyelenggarakan Rambu Solo ini serta dapat
merayakan Natal dan Tahun Baru secara bersama pula.
Kemeriahan
upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang
meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak
kerbau yang disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Upacara Rambu
Solo di Tana Toraja terdiri dari beberapa tingkatan yang erat
hubungannya dengan tingkatan marga dan kedudukan seseorang dalam
masyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat, yang dimana sebagai
berikut :
1. Sangbongi
2. Tallung Bongi
3. Limangbongi (Pa’palima)
4. Pitung bongi (Pa’papitu)
5. Pangrapai’
1. Sangbongi
2. Tallung Bongi
3. Limangbongi (Pa’palima)
4. Pitung bongi (Pa’papitu)
5. Pangrapai’
Khusus di
Kampung Balik/Bokko, Tambunan/Mangngape dan Randan Batu yang terkenal
dengan sebutan Tallung Penanian, hanya menggunakan tiga tingkatan
upacara pemakaman Rambu Solo, yakni sebagai berikut :
1. Sangbongi : acaranya hanya satu malam. Hanya 1 (satu) ekor kerbau yang disembelih/dikorbankan, tidak ada budaya ma’badong.
2. Tallungbongi : acaranya 3(tiga) malam. Kerbau yang disembelih 4(empat) sampai 8(delapan) ekor, orang boleh ma’badong.
3. Limangbongi (Pa’palima) : acaranya 5 (lima) malam. Kerbau yang dikorbankan paling kurang ada 12 ekor, batas maksimal tidak dibatasi, berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan keluarga duka. Oleh karena kerbau yang dikorbankan pada acara Rambu Solo Pa’palima ini boleh sampai berapapun jumlahnya (tidak dibatasi), maka acara Pa’Palima ini disebut juga “Sapu-Randanan”. Tanduk dari semua kerbau yang disembelih pada upacara pemakaman selalu disimpan di depan rumah Tongkonan. Tanduk-tanduk kerbau ini disebut juga “Gayong Lotong”.
1. Sangbongi : acaranya hanya satu malam. Hanya 1 (satu) ekor kerbau yang disembelih/dikorbankan, tidak ada budaya ma’badong.
2. Tallungbongi : acaranya 3(tiga) malam. Kerbau yang disembelih 4(empat) sampai 8(delapan) ekor, orang boleh ma’badong.
3. Limangbongi (Pa’palima) : acaranya 5 (lima) malam. Kerbau yang dikorbankan paling kurang ada 12 ekor, batas maksimal tidak dibatasi, berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan keluarga duka. Oleh karena kerbau yang dikorbankan pada acara Rambu Solo Pa’palima ini boleh sampai berapapun jumlahnya (tidak dibatasi), maka acara Pa’Palima ini disebut juga “Sapu-Randanan”. Tanduk dari semua kerbau yang disembelih pada upacara pemakaman selalu disimpan di depan rumah Tongkonan. Tanduk-tanduk kerbau ini disebut juga “Gayong Lotong”.
Tingkatan
upacara yang dipakai pada upacara pemakaman Alm. Ne’Rapa sendiri adalah
Pa’palima sesuai dengan tingkatan marga serta kedudukannya dalam
masyarakat sebagai tokoh masyarakat dan Ambe’ tondok/penatua di Kampung
Balik/Bokko. Pada Pa’palima ini bermacam- macam kesenian budaya yang
berhubungan dengan upacara kedukaan diadakan, seperti ma’katia,
ma’randing dan ma’badong.
Pelaksanaan
upacara Rambu Solo dilaksanakan secara adat namun diinkulturasikan
dengan ajaran agama Katolik yang dianut oleh almarhum, sehingga terdapat
beberapa acara Rambu Solo versi Aluk Todolo (aliran kepercayaan nenek
moyang Toraja) yang tidak dapat dilakukan pada acara pemakaman alm
karena bertentangan dengan ajaran agama yang dianut, seperti “Sembangan
Suke Baratu” dan “Bulangan Londong” (sabung ayam).
Dalam
merencanakan acara pemakaman Alm. Yohanis Ne’Rapa, keluarga serta
masyarakat Balik/Bokko sejak bulan Oktober 2010 telah menyiapkan
berbagai persiapan dan kegiatan. Persiapan diawali dengan pembenahan,
pembersihan lokasi serta pengumpulan bahan yang akan dipakai untuk
mendirikan pondok-pondok (lantang) dan pintu gerbang. Mendirikan lantang
dan pintu gerbang, serta mempersipakan lokasi adu kerbau (ma’pasilaga
tedong) merupakan salah satu bagian dari upacara ini. Bicara
soal kerbau, Toraja terkenal juga dengan salah satu ciri khasnya, yakni
kerbau belang (tedong bonga).
Tedong bonga ini berharga sekitar 100 – 300 juta/ekor (hmm,, yang unik-unik itu memang sering mahal ya?! ^.^!)
Dan suatu kehormatan lebih bagi keluarga
ketika Wakil Gubernur Sulawesi-Selatan (Bapak Agus Arifin Nu’man),
Putri Pariwisata Sul-Sel, serta Bupati Tana-Toraja menyempatkan diri
untuk hadir pada event ini. Dengan dijemput oleh penerima tamu,
para tamu kehormatan ini selanjutnya menempati posisi yang telah
disediakan khusus di tempat VIP.
Tibalah awal
tahun 2011 dimana sudah saatnya jenazah Alm. Ne’Rapa diturunkan dari
Tongkonan (rumah adat khas Toraja) dan dimakamkan. Sebelum diturunkan
dari Tongkonan, anak – cucu terlebih dahulu berkumpul, berdoa dan
setelahnya, jenazah kemudian diarek menuju Gereja. Ibadah perayaan
Ekaristi (Misa Requem) saat itu berlangsung di siang hari dan kemudian
berlanjut ke tempat tujuan selanjutnya yakni tempat pemakaman yang
berlokasi di sebuah gunung batu keluarga yang letaknya tidak begitu jauh
dari tempat upacara di Karuaya, Kampung Balik/Bokko.
Kebiasaan
menguburkan jenazah di gunung batu ternyata memiliki makna tersendiri
bagi masyarakat setempat. Dengan menguburkan mayat di bebatuan maka
tidak akan merusak lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian
masyarakat setempat. Masyarakat tidak ingin merusak lahan produktif yang
ada, itu sebabnya masyarakat memanfaatkan lereng bebatuan yang banyak
ditemukan di Toraja sebagai tempat untuk menguburkan mayat. Walaupun
penguburan tanah sekarang ini sudah lazim dilakukan, namun kebiasaan
untuk menguburkan mayat di bebatuan masih terus dipegang dan berlanjut
hingga saat ini oleh masyarakat.
Pagi.. Btw, ini disitir/copas dr blog sy y?
BalasHapusTulisannya semua sama persis.. Saran sj, klo mw dicopas silahkan ambil info yg penting, tapi diolah lg, apalgi klo brupa pengalaman seseorang.. Apabila mmg mau mengambil smua, tulis sumbernya.. Thanks
-Priska-