Minggu, 27 Mei 2012

Rambu solo di Tongkonan karuaya, sangalla

Tana Toraja… demikian sebutan salah satu kabupaten dari 24 kabupaten di Sulawesi-Selatan, terletak kira-kira 310 km arah utara Kota Makassar.  Sama seperti kabupaten-kabupaten lainnya, Tana Toraja mempunyai daya tarik tersendiri, selain dari keindahan alamnya juga keunikan budayanya, khususnya keunikan pada upacara pemakamannya (Rambu Solo).
Saat ini penulis ingin bercerita mengenai upacara Rambu Solo yang diadakan di Tongkonan Karuaya Lembang Tumbang Datu, Kec. Sangalla, Kab. Tana Toraja. Upacara Rambu Solo yang diikuti merupakan upacara penghormatan untuk Alm. Johannis Ne’Rapa, yang tidak lain adalah kakek dari penulis sendiri.

Rambu Solo di Tongkonan Karuaya
Upacara Rambu Solo mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Tana Toraja. Upacara ini mengutamakan penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal dunia sebagai jembatan menuju surga (Puya) menghadap Sang Pencipta. Namun, Rambu Solo ini juga memiliki peran sebagai ajang pertemuan bagi saudara/i dan keluarga setelah sekian lama tak berjumpa. Yaaa,,, tidak mengherankan apabila setiap akhir Desember serta awal tahun, Tana Toraja ramai dengan upacara Rambu Solo.  Demikian halnya dengan Rambu Solo Ne’Rapa. Upacara Rambu Solo dari Ne’Rapa yang meninggal sejak beberapa bulan lalu ini dilaksanakan 5 hari berturut-turut dari tanggal 27 Desember 2010 dan berakhir dengan proses pemakaman pada tanggal 01 Januari 2011, dimana seluruh anak dan cucu Alm yang berada di Pulau Jawa dan Irian, dan Sulawesi khususnya, dapat berkumpul mengikuti dan menyelenggarakan Rambu Solo ini serta dapat merayakan Natal dan Tahun Baru secara bersama pula.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Upacara Rambu Solo di Tana Toraja terdiri dari beberapa tingkatan yang erat hubungannya dengan tingkatan marga dan kedudukan seseorang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat, yang dimana sebagai berikut :
1. Sangbongi
2. Tallung Bongi
3. Limangbongi (Pa’palima)
4. Pitung bongi (Pa’papitu)
5. Pangrapai’
Khusus di Kampung Balik/Bokko, Tambunan/Mangngape dan Randan Batu yang terkenal dengan sebutan Tallung Penanian, hanya menggunakan tiga tingkatan upacara pemakaman Rambu Solo, yakni sebagai berikut :
1. Sangbongi : acaranya hanya satu malam. Hanya 1 (satu) ekor kerbau yang disembelih/dikorbankan, tidak ada budaya ma’badong.
2. Tallungbongi : acaranya 3(tiga) malam. Kerbau yang disembelih 4(empat) sampai 8(delapan) ekor, orang boleh ma’badong.
3. Limangbongi (Pa’palima) : acaranya 5 (lima) malam. Kerbau yang dikorbankan paling kurang ada 12 ekor, batas maksimal tidak dibatasi, berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan keluarga duka. Oleh karena kerbau yang dikorbankan pada acara Rambu Solo Pa’palima ini boleh sampai berapapun jumlahnya (tidak dibatasi), maka acara Pa’Palima ini disebut juga “Sapu-Randanan”.  Tanduk dari semua kerbau yang disembelih pada upacara pemakaman selalu disimpan di depan rumah Tongkonan. Tanduk-tanduk kerbau ini disebut juga “Gayong Lotong”.

Ma'Katia
Tingkatan upacara yang dipakai pada upacara pemakaman Alm. Ne’Rapa sendiri adalah Pa’palima sesuai dengan tingkatan marga serta kedudukannya dalam masyarakat sebagai tokoh masyarakat dan Ambe’ tondok/penatua di Kampung Balik/Bokko.  Pada Pa’palima ini bermacam- macam kesenian budaya yang berhubungan dengan upacara kedukaan diadakan, seperti ma’katia, ma’randing dan ma’badong.

Ma'Badong
Pelaksanaan upacara Rambu Solo dilaksanakan secara adat namun diinkulturasikan dengan ajaran agama Katolik yang dianut oleh almarhum, sehingga terdapat beberapa acara Rambu Solo versi Aluk Todolo (aliran kepercayaan nenek moyang Toraja) yang tidak dapat dilakukan pada acara pemakaman alm karena bertentangan dengan ajaran agama yang dianut, seperti “Sembangan Suke Baratu” dan “Bulangan Londong” (sabung ayam).  

ma' randing
Dalam merencanakan acara pemakaman Alm. Yohanis Ne’Rapa, keluarga serta masyarakat Balik/Bokko sejak bulan Oktober 2010 telah menyiapkan berbagai persiapan dan kegiatan. Persiapan diawali dengan pembenahan, pembersihan lokasi serta pengumpulan bahan yang akan dipakai untuk mendirikan pondok-pondok (lantang) dan pintu gerbang. Mendirikan lantang dan pintu gerbang, serta mempersipakan lokasi adu kerbau (ma’pasilaga tedong) merupakan salah satu bagian dari upacara ini.  Bicara soal kerbau, Toraja terkenal juga dengan salah satu ciri khasnya, yakni kerbau belang (tedong bonga).

Ma'Pasilaga tedong

Tedong Bonga
Tedong bonga ini berharga sekitar 100 – 300 juta/ekor (hmm,, yang unik-unik itu memang sering mahal ya?! ^.^!)

Dari kiri ke kanan : Bupati Tator, Wagub Sul-Sel, Putri Pariwisata Sul-Sel
Dan suatu kehormatan lebih bagi keluarga ketika Wakil Gubernur Sulawesi-Selatan (Bapak Agus Arifin Nu’man), Putri Pariwisata Sul-Sel, serta Bupati Tana-Toraja menyempatkan diri untuk hadir pada event ini. Dengan dijemput oleh penerima tamu, para tamu kehormatan ini selanjutnya menempati posisi yang telah disediakan khusus di tempat VIP.

Anak, menantu, cucu dan cicit Alm.
Tibalah awal tahun 2011 dimana sudah saatnya jenazah Alm. Ne’Rapa diturunkan dari Tongkonan (rumah adat khas Toraja) dan dimakamkan. Sebelum diturunkan dari Tongkonan, anak – cucu terlebih dahulu berkumpul, berdoa dan setelahnya, jenazah kemudian diarek menuju Gereja. Ibadah perayaan Ekaristi (Misa Requem) saat itu berlangsung di siang hari dan kemudian berlanjut ke tempat tujuan selanjutnya yakni tempat pemakaman yang berlokasi di sebuah gunung batu keluarga yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat upacara di Karuaya, Kampung Balik/Bokko.
Kebiasaan menguburkan jenazah di gunung batu ternyata memiliki makna tersendiri bagi masyarakat setempat.  Dengan menguburkan mayat di bebatuan maka tidak akan merusak lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian masyarakat setempat. Masyarakat tidak ingin merusak lahan produktif yang ada, itu sebabnya masyarakat memanfaatkan lereng bebatuan yang banyak ditemukan di Toraja sebagai tempat untuk menguburkan mayat.  Walaupun penguburan tanah sekarang ini sudah lazim dilakukan, namun kebiasaan untuk menguburkan mayat di bebatuan masih  terus dipegang dan berlanjut hingga saat ini oleh masyarakat.

1 komentar:

  1. Pagi.. Btw, ini disitir/copas dr blog sy y?
    Tulisannya semua sama persis.. Saran sj, klo mw dicopas silahkan ambil info yg penting, tapi diolah lg, apalgi klo brupa pengalaman seseorang.. Apabila mmg mau mengambil smua, tulis sumbernya.. Thanks
    -Priska-

    BalasHapus