Minggu, 27 Mei 2012

TANANAN DAPO'/RAMPANAN KAPA'


Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam) ekor kerbau Sangpala’.
Demikianlah maka perkawinan itu dilakukan dalam 3 cara. Hai itu ditentukan oleh kemampuan dari yang mengadakan perkawinan dan ketiga cara ini tidak dititikberatkan pada adanya tana’ atau dengan kata lain cara kawin ini ditentukan saja oleh waktu perkawinan dan karena itu maka dikenallah tiga macam waktu serta menjadi pula tiga tingkatan masing-masing:

  1. Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-aki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
  2. Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
  3. Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua .
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo, harus melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini masing-masing:
  1. Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
  2. Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
    • Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
    • Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
    • Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan
  3. Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk  menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan Kapa’
  4. Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan  To Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
  5. Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan damn melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaan ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan dulang dari Tana' Bulaan yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo sebagai berikut:
  1. Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.
  2. Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa sirih pinang.
  3. Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
  4. Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
  5. Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta Tana' Bulaan dengan susunan 9 (sembilan) dulang.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan Kapa’, yang jumlah Kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
  1. Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai Hukum Tana’ yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
  2. Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa (to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain dari pada dewan adat.
  3. Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang  tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak  sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
  4. Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
  5. Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
  6. Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan janda itu.
  7. Dan lain-lain

To Manurun dan To Bu’tu Ri Uai: Nenek Moyang To Manurunan

Roxana Waterson) Di Tana Toraja, ide To Manurun, mitos yang menceritakan seseorang yang turun dari langit ke puncak-puncak gunung dan menjadi para penguasa lokal, Toraja Tomanurun selalu dipasangkan dengan satu pasangan dengan sama hal-hal yang gaib, seorang wanita yang bangkit ke luar dari suatu kolam/sungai. Kesu mengklaim To Manurun Manurun Di Langi’ adalah nenek moyang yang paling penting, sementara di Tallu Lembangna, Tamboro Langi' (Toma’ Banua ditoke’, Toma’ Tondok dianginni) lebih penting. Bagaimanapun bangsawan-bangsawan dari kedua area ini telah mengklaim bahwa Tomanurun mereka adalah pusat pemerintahan. Mereka tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa To Manurun berasal dari bagian barat (Ullin).
Salah satu perbedaan  yang spesifik adalah tempat dimana pertama kali Tamboro Langi’ diturunkan. Menurut tradisi-tradisi bagian barat, ia turun di Ullin, suatu puncak di daerah Banga, dan membangun rumah di sana dengan istrinya, Sanda Bilik, yang muncul dari pertemuan sungai Sa'dan dan sungai Saluputti. Ullin juga dihubungkan dengan deata, yang dikatakan berkumpul ke sana tiap-tiap tahun setelah panenan.
Bangsawan di Tallu Lembangna, bagaimanapun, cenderung untuk mengaku Tamboro Langi’ tidak diturunkan di Ullin, tapi di Kandora. Beberapa versi mengatakan ia kemudian pindah ke Ullin, dan yang lain bahwa ia hanya di Kandora dan tidak pernah pergi ke barat sama sekali.
Tongkonan Layuk pada tiap area mempunyai kisah – kisah sendiri tentang para nenek moyang dan kejadian-kejadian hal-hal yang gaib. Contoh-contoh yang berikut dikumpulkan di daerah Saluputti, terutama Malimbong. Ullin membentuk suatu segi tiga dengan dua gunung yang lain mencapai puncak yang kelihatan dari Malimbong: Sado'ko' dan Messila. Di samping Tamboro Langi' dari Ullin, nenek moyang penting di silsilah-silsilah Saluputti adalah Gonggang Sado'ko', yang turun di Sado'ko' dan menikah dengan wanita yang muncul dari kolam yang bernama Marrin di Liku. Dalam sebuah cerita Gonggang diklaim sebagai manusia yang pertama di atas bumi di Toraja bagian barat, dan memiliki enam belas anak-anak, sebagian memiliki nama-nama dari dewata-dewata dalam versi Toraja. Alm. Mangesa mantan Kepala Desa Malimbong (1965-71), yang mengakui dirinya keturunan generasi yang ke sebelas dari Gonggang, menurutnya karna memelihara kekuatan supranaturalnya, sehingga Gonggang masih hidup pada waktu invasi Arung Palakka. Tetapi di dalam silsilah-silsilah dari beberapa orang di Ullin, ia bukan To Manurun, tetapi sebagai cucu laki-laki Tamboro Langi'. Gunung yang ketiga, Messila, juga dihubungkan dengan Tomanurun, Kila' Ta'pa ri Ba'tang. {Menurut silsilah mereka yang berasal dari Lion, Rorre dan Lemo, Makale Utara, Puang Kila’ Ta’pa Ri Batang menikah dengan Marring di Liku dan memiliki 4 orang anak masing-masing Sadodo’na’, Batotoi Langi’, Pulio dan Palandangan. Palandangan lalu menikah dengan Batan di Lomben melahirkan Arung (Pangala Tondok di Rorre), Para (Pangala Tondok di Lemo) dan Lembu’bu’ yang kemudian menikah dengan Patantan dan melahirkan Saarongre yang menjadi Pangala Tondok di Lion Tondok Iring.}
Hanya sedikit yang diketahui tentang Tomanurun ini, tetapi menurut Isaak Tandirerung, mantan Camat dari Ulusalu, ia turun agak belakangan dibanding Tamboro Langi'. Ia menikah dengan seorang wanita kolam dan membangun rumah di Messila (yang tidak lagi ada), dan keturunan-keturunannya kemudian mendirikan Tongkonan Pattan, Tongkonan Layuk di Ulusalu, dari mana Isaak berasal.
Di desa Malimbong pada waktu dari ambil alih Belanda, ada dua Tongkonan Layuk yang bersaing mana yang paling utama, Pasang dan Pokko', dekat Sawangan. Silsilah Pasang memulai dengan Gonggang Sado'ko', Pokko dengan nenek moyang yang lain yaitu Pa'doran. Keturunan-keturunan dua Tongkonan ini cenderung untuk memperbesar pentingnya nenek moyang mereka sendiri, selagi menertawakan kisah-kisah tentang yang lain. Pa'doran dikatakan dilahirkan dua generasi setelah Gonggang, tetapi juga memimpin pasukan Gonggang di dalam peperangan melawan terhadap Bone. Ia bukan to manurun, tetapi to mendeata, karena ia telah menerima kuasa-kuasa dari deata dalam mimpi. Ia bisa berjalan beberapa mil-mil di dalam suatu langkah dan mempunyai kekuatan supranatural. Jika ia berdiri di Sado'ko', ia bisa menjangkau Messila di dalam suatu langkah, dan dengan langkah ketiga berada di Ullin.
Beberapa cerita tentang Pa'doran dihubungkan dengan fitur lokal dari daerah sekitarnya. Segala hal yang ia katakan akan terjadi. Ketika ia berkata, "Kerbauku adalah besar", dengan segera menjadi mahabesar, dan ketika ia berkata, "Kerbauku akan membuat suatu gunung dengan tanduknya", kerbau mengombang-ambingkan kepalanya dan menanduk dua kerut yang besar dengan tanduknya. Bukit ini kemudian diberi nama disebut Buttu Susu, suatu daerah di Malimbong. Di dalam versi yang lain, tandukan kerbau itu menjadikan Buttu Susu, Bea dan Matande; galiannya membentuk gunung yang disebut Gattungan, dekat Buttu Susu. Pa'doran tidak pernah menikah. Ia benci untuk busuk pada kematian, dan sebagai gantinya ia menyuruh keluarganya untuk membuat suatu keranjang yang khusus untuk dia. Ia lalu memanjat ke dalamnya dan berubah menjadi batu. Keranjang ini masih disimpan di dalam tongkonan Pokko', dan hanya dapat dilihat jika ada upacara sesaji. Penduduk meyakini bahwa ketika satu gemetaran bumi dirasakan di sini, ini berarti bahwa Pa'doran sedang keluar dari keranjang untuk berjalan-jalan, lalu koin yang berderik terdengar di dalam rumah.
Satu lain kepada manurun di Malimbong dihubungkan dengan tongkonan pada Parinding di Sa'tandung.  Batotoilangi' (Muncul dari langit) menikahi seorang wanita yang bernama Mandalan i Limbong, yang muncul dari mata air alami, yang sampai sekarang masih digunakan sebagai mata air oleh penduduk desa di Parinding. Mereka mempunyai delapan anak. Suatu hari, Batotoilangi' diserang oleh bau dari pemangangan daging anjing, dan ia pun kembali ke langit, sedang istrinya kembali ke air. Banyak pamali dihubungkan dengan rumah, tidak hanya memakan daging anjing, tetapi juga tikus (tikus ladang dikonsumsi dibeberapa bagian di Toraja), keong-keong, atau daging dari pemakaman. Juga terlarang untuk meludah di lokasi rumah. Pasangan pendirian hal ini, menurut penghuni- rumah, hidupsekitar sebelas generasi yang lalu, pada waktu yang sama seperti  Gonggang Sado'ko'. Sebelum pergi, Batotoilangi' memberitahu orang-orang bahwa mereka akan tahu ia masih di sekitar ketika mereka mendengar guntur atau ketika hujan. Jika seekor ayam dikorbankan di sini, bahkan di musim kemarau, konon gerimis turun. Ketika pelangi, selalu muncul dengan salah satu ujungnya pada lokasi dari rumah yang asli, meregang diatas pohon banyan yang tumbuh di sampingnya. Jika keturunan-keturunan dari rumah melihat suatu pelangi setelah membuat sesaji, ini berarti bahwa Batotoilangi' dan deata sudah menerimanya. Di masa. lalu, tongkonan memiliki banyak budak berkait dengannya, yang semua tinggal di bukit dimana tongkonan itu berdiri.
Tidak susah untuk melihat bagaimana dongeng ini dan kisah-kisah, silsilah-silsilah dijadikan kekuatan politis dari tongkonan bangsawan, yang dilayani untuk mengangkat dan membenarkan status kebangsawanan mereka. kisah – kisah mistik lebih lanjut ditambahkan pada harta benda/pusaka-pusaka rumah ini (sampai para anggota generasi yang lebih muda menyerah kepada godaan untuk menjual sebagian dari barang – barang kepada penyalur-penyalur seni yang internasional). Apakah para pahlawan mereka adalah manusia nyata, atau apakah kisah-kisah itu diciptakan pertama dan nama-nama yang ditempelkan kemudian di dalam silsilah-silsilah, yang mustahil untuk ditebak. Seperti Pa'doran atau Batotoilangi', sudah sangat melokalisir reputasi-reputasi; yang lain seperti Tamboro Langi' atau Laki Padada, mempunyai suatu ketenaran yang menyebar luas dan dihubungkan dengan banyak tongkonan bersama-sama. Hubungan ini pada waktu tertentu dipertunjukkan dan diperbaharui di dalam upacara-upacara, seperti ketika pada Bulan Januari 1983, diatas 100 kelompok keturunan dari tongkonan yang terkenal pada Nonongan yang dikumpulkan untuk merayakan pembangunan rumah tongkonan. Tidak banyak Toraja dapat melacak koneksi-koneksi pada  rumah ini dan pendirinya, Manaek, tetapi maka kaleng keluarga-keluarga yang kerajaan dari Luwu', Goa dan Bone, semua mengutus wakil-wakilnya di upacara itu. Pihak Luwu' bahkan membawa seekor babi yang sangat besar. Melalui kehadirannya, mereka mengakui keturunan mereka dari Laki Padada, seperti juga hubungan mereka melalui perkawinan dengan orang golongan lain dengan kebangsawanan Toraja.

To Manurun = Nenek Moyang yang tidak diketahi asal usulnya sehingga selalu dikatakan berasal dari langit

TOPADA TINDO TO MISA' PANGIMPI


DAFTAR NAMA TO PADATINDO, TOMISA’ PANGIMPI
UNTULAK BUNTUNNA BONE
ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA
(Melawan Invasi Bone setelah mereka mengadakan Kombongan di Pata’padang, Sarira)

  1. Pong Kalua’ (Penaa Batu Laulung)    Randan Batu
  2. Sanda Kada (Rangga Lila)                Limbu
  3. Pong Songgo (Bandangan Matipa)    Limbu
  4. Karasiak            Madandan
  5. Lando Aak            Boto’
  6. Batara Langi’        Boto’
  7. Ambabunga’        Bombongan
  8. Pong Boro Tua        Maruang
  9. Tumbang Datu        Bokko
  10. Patobok            Tokesan
  11. Kondopatalo        Lampio
  12. Paliun            Batualu
  13. Pagonggang        Batualu
  14. Bongi            Batualu
  15. Ne’ Lello            Leatung
  16. Tomorere’            Gantaran
  17. Palondongan         Simbuang
  18. To Gandang        Sarapung
  19. Pagunturan        Bebo’
  20. Tikuali            Ba’tan
  21. To Bangkudu Tua        Malenong
  22. Takia’ Bassi        Angin-Angin
  23. Patabang Bunga’        Tadongkon
  24. Salle Karurung        Paniki
  25. Kattu            Buntao’
  26. Palinggi’             La’bo’
  27. Sa’bu’ Lompo        Bonoran
  28. Ne’ Pirade            Tonga
  29. Patasik / Pong Tasik    Pao        
  30. Ne’ Malo’             Tondon
  31. Poppata’            Nanggala
  32. Patora Langi’        Langda
  33. Ne’ Patana            Kanuruan
  34. Bannelangi’        Kadundung
  35. Tibaklangi’            Saloso
  36. Ne’ Kalelean        Rorre
  37. Banggai            Salu
  38. Songgi Patalo        Lemo
  39. Arring lan di Deata    Mandetek
  40. Lunte            Mariali
  41. Rere’            Lion
  42. Saarongre            Tondok Iring
  43. Baanlangi’            Lapandan
  44. Marimbun            Bungin
  45. Panggeso            Tiromanda
  46. Sando Pasiu’        Pasang
  47. Tolanda’            Santung
  48. Bangke Barani        Manggau
  49. Parondonan        Ariang
  50. Sundallak            Burake
  51. Panggalo            Lemo Pa’buaran
  52. Bara’padang        Gandang Batu
  53. Pong Arruan        Sillanan
  54. Pong Dian            Tinoring
  55. Tobo’            Tampo
  56. Pong Barani        Marinding
  57. Pong Turo            Baturondon
  58. Puang Balu        Tangti
  59. Kulu-kulu Langi’        Palipu’
  60. Darra Matua        Tengan
  61. Sarangnga’            Lemo Mengkendek
  62. Tanduk Pirri’        Ala’
  63. Pokkodo            Tagari
  64. Kundubulaan (Mendila)    Sa’dan
  65. Pangarungan        Tallunglipu
  66. Taruk Allo            Tallunglipu
  67. Tengkoasik            Barana’
  68. Ne’ Rose’            Sangbua’
  69. Lotong Tara        Bori’
  70. Allopaa            Kayurame
  71. Rongre Langi’        Riu
  72. Tangkedatu        Buntu Tondok
  73. Tolangi’            Pongsake
  74. Mendila Kila’        Rongkong
  75. Ne’ Darro            Makki’
  76. Ne’ Mese’            Baruppu’
  77. Sarungngu’            Pangala’
  78. Bongga            Pangala’
  79. Usuk Sangbamban    To’tallang
  80. Ambe’ Bando’        Awan
  81. Ledong            Bittuang
  82. Patikkan            Bambalu
  83. Gandanglangi’        Mamasa
  84. Ne’ Darre            Manipi
  85. Pong Rammang        Piongan
  86. Tandiri Lambun        Tapparan
  87. Batotoi Langi’        Malimbong
  88. Tandirerung        Ulusalu
  89. Pakumpang        Sangalla’/Buntao’
  90. Pong Manapa’        Se’seng
  91. Tokondo’            Buakayu
  92. Mangngi’            Rumandan Rano
  93. Mangape            Mappa’
  94. Pappang            Palesan
  95. Batara Bau            Bau
  96. Pong Bakkula’        Redak
  97. Tangdierong/Todierong    Baroko
  98. Bonggai Rano        Balepe’
  99. To Layuk             Simbuang
  100. Patittingan            Talion
  101. To Isangan            Tanete (Rano)
  102. Sodang            Ratte Buakayu
  103. Lapatau            Tombang Mappa’
  104. Torisomba            Garappa’ Mappa’
  105. Sege’            Bassean Endekan
  106. Mangopo            Sima Simbuang
  107. Ponipadang        Makkodo Simbuang
  108. BAlluku’            Batutandung Mamasa
  109. Massanga            Pana’ Mamasa
  110. Karrang Bulu        Mala’bo’ Mamasa
  111. Buranda            Tondon Kuang Batualu
  112. Sombolinggi’        To’Katapi Papa Tallang Batualu
  113. Agan            Buntu Doan Batualu
  114. Sanggalangi’         Pantilang
  115. Talibarani            Bokin
  116. Pong Sussang        Ke’pe’ Ranteballa
  117. Paressean            Karre
  118. Emba Bulaan        Sikapa Ranteballa
  119. Arrang Bulawanna        Lemo Ranteballa
  120. To Pajaoan            Kandeapi Ranteballa
  121. Puang Direngnge’        Tabang Ranteballa
  122. Bakokang            Lantio Ranteballa
  123. Pakabatunna        Sesean
  124. Ne’ Bulu Tedong        Pangala’
  125. Ne’ Tulla’            Kapala Pitu
  126. Padondan            Tikala
  127. Bangkele Kila’        Akung
  128. Galugu Dua        Balusu
  129. To Kalu            Endekan
  130. To Layuk            Baroko
  131. Mara’biang            Bebo’
  132. Pabidang            Buakayu
  133. Masuang            Tangsa
  134. Pauang            Malimbong

PROSES UMUM RAMBU SOLO'


Adapun proses umum dalam acara kematian dan Rambu Solo' adalah sebagai berikut :
1. Ma’dio’ Tomate yaitu orang yang baru mati lalu diberi pakaian kebesarannya dan perhiasan pusaka yang dihadiri oleh keluarga. Pada saat itu dipotong seekor kerbau atau babi bagi Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi, dan dagingnya dibagikan kepada keluarga yang hadir. Mulai saat itu sampai pelaksanaan upacara Rambu Solo' jenasah masih dianggap orang sakit atau To Makula’.
2. Ma’doya yaitu sebagai acara pertama dalam Rambu Solo' yang dikatakan Mangremba’ dengan sajian seekor ayam yang disembelih dengan memukulkan kepala ayam. Saat itu jenasah sudah dianggap orang mati atau Tomate
3.  Ma’balun yaitu jenasah dibungkus dengan kain kafan (Dibalun) karena baru dianggap sebagai orang mati. Bungkusan mayat berbentuk bulatan dan yang membungkus mayat adalah petugas khusus yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo
4.   Ma’bolong dimana secara resmi keluarga dinyatakan Maro’
5.  Meaa yaitu proses pengantaran jenasah ke liang kubur yang sejalan pula dengan Ma’palao sampai mayat dimasukkan de dalam liang yang disebut Ma’peliang.
6.  Kumande yaitu acara dimana orang Maro’ sudah boleh makan nasi. Rentetan acara Kumande ini adalah Ussolan Bombo atau manglekan.
7. Untoe Sero yaitu satu acara dengan kurban mengakhiri upacara Rambu Solo' dan dilakukan di liang yang maksudnya hubungan antara yang mati dengan orang hidup tidak ada lagi.
8. Membase (membersihkan) yaitu upacara dari keluarga yang baru selesai mengadakan Rambu Solo' dengan mengadakan kurban di atas Tongkonan yang maksudnya sudah lepas dari ritual Rambu Solo' dan sudah boleh melakukan Rambu Tuka'.
9.  Pembalikan Tomate, yaitu menempatklan arwah menjadi Tomembali Puang
Semua proses di atas adalah proses umum pada Rambu Solo' namun setiap daerah adat mempunyai cara atau penambahan tersendiri. Upacara khusus yang merupakan upacara yang tidak mengikat waktu dan keharusan adalah Ma’nene’ yaitu upacara peringatan arwah leluhur atau Tomembali Puang saat keluarga mendapat berkat. Upacara ini berbeda-beda untuk tiap daerah adat tetapi maksud dan tujuannya sama.

Umpoya angin (memukat angin) dan mangrambu tampak beluak (mengupacarakan sisa/ujung rambut) adalah upacara Rambu Solo' menurut Aluk Todolo tanpa jenazah tetapi hanya dengan membungkus angin atau ujung kuku / rambut. Ini dilakukan jika orang yang akan diupacarakan ternyata meninggal di luar daerah dan orang hanya membawa berita kematiannya atau hanya ujung rambut atau kukunya.
Menurut Aluk Todolo setiap orang yang mati harus diupacarakan agar arwahnya dapat diterima sebagai arwah yang baik di Puya dan dapat menjadi Tomembali Puang yang memperhatikan keturunannya.

Oleh karena kewajiban daripada arwah serta keyakinan dalam Aluk Todolo, maka orang yang mati di luar daerahnya dapat diupacarakan dengan cara yang wajar sesuai dengan cara tertentu, namun mayatnya tidak diketahui tempatnya. Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu

  1. Di poyan angin, yaitu jika seseorang yang meninggal dan jasadnya tidak didapatkan atau tidak diketahui dimana letak jenasahnya, sehingga tidak didapatkan ujung rambut atau ujung kukunya ataupun pakaiannya, terutama orang yang tenggelam di laut, hilang di dalam hutan, maka orang yang mati itu harus diupacarakan dengan Upacara Dipoyang Angin yaitu seluruh keluarga dari yang mati pergi ke puncak gunung dan membawa sebuah sarung yang baru untuk memukat angain dengan sarung tersebut.Cara memukat angin ini adalah salah satu ujung sarung diikat kemudian diarahkan ke arah datangnya angin. Angin yang membuat sarung menggembung akan ditangisi oleh perempuan dan segera para pria akan mengikat ujung yang masih terbuka sehingga sarung akan terisi angin yang menggembung.Pada saat itu diyakinkan bahwa nyawa dan roh dari yang mati telah masuk ke dalam sarung tadi, dimana kemudian sarung yang berisi angin tersebut dibawa ke Tongkonan untuk selanjutnya dibungkus menyerupai bundaran balun dan dianggap sebagai jenasah dari orang yang mati. Replika jenasah ini kemudian diupacarakan sesuai dengan kasta dari orang yang mati. Pada umumnya Upacara Dipoyan Angin dilaksanakan dengan upacara dipasangbongi namun dengan memotong kerbau lebih dari satu ekor dimana  kulit (balulang) salah satu kerbau yang dipotong itu tidak boleh dilepas tetapi diiris bersama dengan dagingnya.Kemudian Tominaa mengucapkan untaian kata dari atas menara daging (Bala’kayan Duku’) yang mengungkapkan kesetiaan dari keluarganya serta kematian dari si mati dan diyakini bahwa arwahnya dapat diterima dengan wajar di alam baka atau Puya
  2. Upacara Mangrambu Tampak Beluak, yaitu suatu upacara pemakaman dimana hanya ujung rambut atau kuku dan pakaian dari jenasah yang dibungkus, sedangkan jenasahnya dikuburkan jauh dari negerinya. Menurut keyakinan Aluk Todolo bahwa dengan adanya ujung rambut atau kuku, maka hal itu sama dengan jenasah aslinya dan diupacarakan sesuai dengan tingkatan kasta dari orang yang mati tersebut.Sering juga pihak keluarga pergi mengambil jenasah itu dengan menggali tulang belulang jenasah dan dibawa ke negerinya untuk diupacarakan. Pada saat menggali tulang belulang tersebut yang dinamakan Mangkaro batang Rabuk, maka harus diganti dengan menguburkan satu ekor hewan yang biasanya ayam atau babi.
Dengan memperhatikan pemakaman cara demikian di atas bahwa menurut keyakinan Aluk Todolo, setiap manusia harus diupacarakan kematiannya atau pemakamannya sekalipun jenasah tidak ada. Hal ini karena menurut Aluk Todolo, setelah manusia meninggal maka rohnya akan menjadi Tomembali Puang yang akan memberi berkat kepada keturunannya

tarian pitu

Sebelum pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum tahun 1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan Tarian Pitu atau Ra’ Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang masih sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum pengadilan negeri.
Tujuh bentuk peradilan tersebut adalah cara mengadili atau menyelesaikan persengketaan atau pertentangan dari dua pihak yang bersengketa yang tak dapat lagi diselesaikan bersama dengan mempergunakan saksi-saksi dan bukti – bukti yang nyata yang dipergunakan oleh peradilan adat mendamaikan atau menyelesaikan persengketaan, maka diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang bersengketa memilih salah satu dari ketujuh bentuk peradilan yang sudah tertentu itu untuk mengakhiri atau menyelesaikan perselisihan itu serta mendapatkan keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak dari dulu kala memang sudaha daerah adat, yang menurut mitos peradilan pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.
Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan doa berkat dan kekuatan kepada sang Maha Kuasa serta dengan sumpah dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini dilaksanakan.
Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu.
Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang menyaksikannya, dan setelahs elesai ada pihak yang ternyata kalah, maka keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan ditaati keduanya.
Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah mendapat berkat dari Tuhan yang maha Kuasa.
Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas adalah masing-masing:

  1. Si Pentetean tampo/Siba’ta Tungga’ (perang tanding satu lawan satu), yaitu satu cara peradilan dari Tarian pitu yang paling berat karena perkelahian atau pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan Tombak atau pedang yang tajam, yang dilakukan di atas pematang sawah dimana kiri kanannya digenangi air, atau dengan cara membuatkan satu kurungan dalam bentuk persegi empat yang dipagar kuat-kuat dan kedua orang yang brsengketa mengadu kekuatan dan ketangkasannya dalam kurungan atau gelanggang tersebut. Sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah oleh penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa barang siapa yang tidak benar akan hancur dan kalah dan yang benar tidak akan apa-apa, sesudahnya digiring masuk ke gelanggang dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Pelaksanaan Sipentetean Tampo atau Siba’ta Tungga’ ini dihadiri pula oleh dewan pemerintah adat dimana keduanya mengadakan pertarungan itu, yang dalam waktu beberapa menit saja terjadi kurban dari kedua orang yang bertarung yang ada kalanya seorang kurban tetapia daerah ada pula yang kedua-duanya kurban (gugur). Hasil dari pertarungan itu setelah selesai segera diumumkan oleh dewan adat siapa yang kalah dan siapa yang menang dimana seluruh keluarganya menerima sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan mereka bahwa kebenaran yang berbicara yang dalam masyarakat Toraja dikatakan  Ma’pesalu artinya sesuai kebenaran.
  2. Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku  mutlak  atau berkekuatan tetap.
  3. Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang bersengketa/berselisih disuruh mencelupkan tangan ke dalam air panas yang mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari penghulu Aluk Todolo kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangan ke dalam air panas, dan barang siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang hasilnya segera diumumkan oleh dewan adat sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.
  4. Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing – masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada.Menurut keyakinan mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan. Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek manusia diikuti seterusnya oleh manusia.
  5. Sibiangan atau sire’tek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima kata – kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
  6. Sitempoan yang biasa disebut sisumpah, yaitu dua orang yang berselisih disuruh mengucapkan sumpah keduanya dihadapan dewan adat dimana doa = sumpah diucapkan oleh penghulu aluk todolo lebih dahulu kemudian diulangi dengan tidak salah – salah oleh yang bersengketa bergantian, yang isinya antara lain:“ Puang matua, deata titanan Tallu Esungganna, Tomembali puang laun rimpi’na lan tangngana padang sia tang laun pasitirona’ kameloan sia kamanamanan sae lakona ketangumpokadana’ tang tongan, ...dst. Artinya: Tuhan sang pencipta, Dewa-dewa sang pemeliharaan tiga serangkai dan leluhur akan menghancurkan aku dan penghidupanku serta akan mengutuk aku selama – lamanya jikalau aku tidak berkata benar, ...dst. Dalam mengucapkan sumpah demikian itu, juga menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu akibat-akibat dari sumpah seperti orangnya mati atau suatu malapetaka yang menimpa dirinya. Jangka waktu yang berlaku dalam menunggu hasil dari sumpah yang telah dilakukan itu, oleh masyarakat Toraja mengenal jangka waktu itu dalam 3 (tiga) hari, 6 (enam (hari), 30 (tiga puluh) hari, atau setahun padi (sekali panen). Perhitungan waktu-waktu tersebut dia ini adalah perhitungan waktu yang lasim dan selalu dipergunakan dalam pembagian waktu di Tana Toraja . Peradilan cara demikian berlaku pula pada dua orang yang bersengketa dimana tak ada orang lain sebagai penengah yang dinamakan Sisumpah atau Sipenggatan, yaitu keduanya menyumpah diri berganti-ganti, yang sangat banyak kejadiannya di dalam masyarakat Toraja dengan memegang barang yang menjadi sengketa lalu bersumpah kedua orang yang sedang memegang barang itu. Peradilan sitempoan ini mulai mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar masuk di Tana Toraja karena cara demikian itu dianggap terlalu kejam karena jikalau dikalah dalam Sitempoan berarti dikalah dua kali yaitu sudah korban dan kemudian dikalah lagi, maka waktu pengaruh Islam mulai masuk yang disusul dengan pengaruh peradilan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah adalah pembuktian kebenaran masalah, dan jikalau seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan ketidakbenarannya atau sumpah palsunya sudah ditebus dengan pertaruhan nyawanya. Karena peradilan Sitempoan sudah berubah statusnya sejak beberapa puluh tahun, maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat, karena dianggap sudah agak enteng yaitu asal jangan dikalah biarlah disumpah saja sekalipun ada akibatnya nanti, dan inilah menyebabkan timbulnya sumpah palsu. Pengambilan sumpah pada peradilan adat Toraja masih sering pula terjadi di antara orang yang bersengketa tetapi pelaksanaannya sama dengan cara – cara pengambilan sumpah pada peradilan negeri.
  7. Sirari Sangmelambi’, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang kelompok yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perang; sangmelambi’= sepagi). Perang sepagi atau Sirari sangmelambi’ ini adalah bentuk peradilan yang paling akhir terjadi dari pada Tarian Pitu tersebut yaitu peradilan yang menggantikan peradilan adu kekuatan dengan tarik menarik dan tolak menolak seperti yang pernah terjadi dalam pembagian daerah Padang di Puangngi Tallu lembangna, pertarungan adu kekuatan merebut kedudukan yang teratas. Sirari Sangmelambi’ ini ialah seorang atau satu pihak mengarak atau mengumpulkan pengikut lalu menentukan batas untuk diperebutkan siapa yang dapat melintasinya. Sirari Sangmelambi’ ini benar-benar perang mempertahankan daerah tertentu yang dilalukan hanya pada subuh sampai matahari terbit harus dihentikan. Masing-masing  pihak mempertahankan daerahnya dimana terdapat satu pihak penengah yang akan menyaksikan peperangan sepagi itu serta mengawasi jikalau sudah ada diantara yang berperang itu korban, dan jikalau dalam perang terus ada yang korban terus pihak penengah yang mengikutinya berteriak sebagai tanda berhenti karena sudah ada bukti kekalahan yang dikatakan  To’domo Damo’ artinya sudah ada yang luka. Pihak yang luka dinyatakan terus kalah sekalipun kekuatannya lebih besar, dan pada saat itu peperangan terus dihentikan, dan ada yang luka itu dikatakan  kalah perang dan disebut To Ditalo (orang yang kalah), dan segera penguasa adat sebagai penengah mengumumkan siapa yang kalah itu. Sirari Sangmelambi’ itu biasanya dilakukan oleh satu rumpun keluarga atau oleh satu penguasa adat terhadap penguasa adat lainnya yang Sirari Sangmelambi’ ini sangat besar akibatnya tidak sama dengan Tarian Pitu yang lain tersebut diatas. Sering terjadi yang kalah harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada yang menang, dan penyerahan harta keseluruhan itu dikatakan  di pakalao. Sirari sangmelambi’ itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang saudara di Tana Toraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya pemerintahan Belanda.

tingkatan rambu tuka

Adapun tingkatan upacara Rambu Tuka' dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut :
1) Kapuran Pangngan yaitu suatu cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara menghajatkan sesuatu yang kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban persembahan.
2)   Piong Sanglampa, yaitu suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan disajikan di suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban persembahan.
3)  Ma’pallin atau Manglika’ Biang, yaitu suatu cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya mengakui semua kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan melakukan kurban persembahan selanjutnya.
4)    Ma’tadoran atau Menammu, yaitu suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam atau seekor babi yang ditujukan kepada pemujaan Deata – Deata terutama bagi Deata yang menguasai daerah tempat mengadakan kurban persembahan itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika melaksanakan upacara Pengakuan Dosa yang disebut Mangaku–aku.
5)    Ma’pakande Deata do Banua (mengadakan kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini berbeda di tiap daerah adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dengan kurban persembahan seekor babi atau lebih sesuai dengan ketentuan dari masing-masing daerah adat. Uapcara ini dilaksanakan di atas Tongkonan karena Tongkonan sebagai tempat hidup manusia yang mengadakan kurban persembahan dan tujuannya memohon berkat atau bersyukur atas kehidupan dari Sang Pemelihara atau Deata-Deata dan juga sebagai tempat menghajatkan kurban persembahan. Ada daerah adat yang menyebut upacara ini sebagai Ma’parekke Para.
6) Ma’pakande Deata diong padang (mengadakan upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor babi atau lebih yang dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang  yang mengadakan upacara. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Deata-Deata supaya memberkati seluruh tempat atau Tongkonan tempat orang merencanakan dan mengusahakan kurban persembahan seterusnya serta tempat mendirikan Tongkonan. Ada daerah adat yang menamakannya sebagai Ma’tete Ao’.
7) Massura’ Tallang adalah upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan upacara yang lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini dilaksanakan di depan Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’ Tallang merupakan upacara persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata sebagai Sang Pemelihara dengan kurban beberapa ekor babi, dimana sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi untuk dibagikan menurut adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri upacara tersebut utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo. Upacara Massura’ Tallang ini dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dari satu rumpun keluarga atau boleh juga satu keluarga dalam mensyukuri kebahagiaan keluarga itu, dimana dalam pembacaan Doa dan Mantra Sajian Kurban telah diungkapkan pula keagungan dan kebesaran Puang Matua. Oleh karena itu, upacara Massura’ Tallang berfungsi sebagai upacara pengucapan syukur karena keberkatan dan upacara penahbisan atau pelantikan arwah leluhur yang diupacarakan dengan upacara pemakaman Dibatang atau Didoya Tedong. Dengan selesainya upacara ini, maka arwah dari leluhur secara resmi menjadi Setengah Deata yang disebut Tomembali Puang (Sang Pengawas atau Pemberi Berkat manusia turunannya). Upacara demikian disebut Manganta’ Pembalikan Tomate, dan disebut demikian karena pada upacara ini diaturkan dekorasi hias bermacam-macam pakaian dan perhiasan sebagai lambang dan perlengkapan hidup dari sang leluhur di alam baka.
8) Merok, yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang tinggi dengan kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang Matua yang selalu jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa. Kerbau yang dikurbankan pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam (Tedong Pudu’), karena tidak boleh menyajikan kurban kerbau yang memiliki bintik putih yang dianggap sebagai kerbau yang cacat. Sebelum kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak (Dirok), terlebih dulu kerbau ini Disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne yang isinya menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta kehidupan manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut). Dan pelaksanaan pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau Massomba Tedong, yang mana dalam Massomba Tedong ini diungkapkan tujuan dari keluarga mengadakan upacara Merok.
Adapun maksud dari upacara Merok ini adalah :
-       Merok karena keberkatan
-   Merok untuk pelantikan atau peresmian arwah seorang leluhur menjadi Tomembali Puang yang upacara pemakamannya dilakukan dengan upacara Rapasan oleh Kasta Tana’ Bulaan. Upacara ini disebut Merok Pembalikan Tomate.
-  Merok dalam hubungan dengan selesainya pembangunan Tongkonan yang disebut Merok Mangrara Banua, dan upacara ini hanya bagi Tongkonan yang berkuasa seperti Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk. Pada upacara ini banyak babi yang dikurbankan yang sebagian dibagikan secara adat. Ada beberapa daerah adat yang menyebut upacara ini dengan Ma’bate.
9)  Ma’bua’ atau La’pa, yaitu suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua upacara-upacara yang terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang mengadakan upacara Ma’bua’ tersebut. Hal ini karena upacara Ma’bua’ adalah upacara untuk mengakhiri seluruh upacara apapun dalam mensyukuri seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta perlindungan dari Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang.
Upacara Ma’bua’ juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan kehidupan manusia. Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja dan dieluk-elukkan dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus diadakan untuk upacara Ma’bua’ tersebut.
Pada upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai kurban persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau tergantung pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh satu daerah adat atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh masyarakat satu daerah serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut sebagai Bua’ kasalle atau La’pa Kasalle (Bua’=perbuatan, la’pa=kelepasan, kasalle=besar).
Upacara Ma’bua’ ini adalah pusat dari semua upacara serta puncak dari semua upacara dalam Aluk Todolo yang juga merupakan dasar pembagian daerah adat Tondok Lepongan Bulan menjadi 3 daerah adat besar berdasarkan Lesoan aluk tananan Bua’.

Rambu solo di Tongkonan karuaya, sangalla

Tana Toraja… demikian sebutan salah satu kabupaten dari 24 kabupaten di Sulawesi-Selatan, terletak kira-kira 310 km arah utara Kota Makassar.  Sama seperti kabupaten-kabupaten lainnya, Tana Toraja mempunyai daya tarik tersendiri, selain dari keindahan alamnya juga keunikan budayanya, khususnya keunikan pada upacara pemakamannya (Rambu Solo).
Saat ini penulis ingin bercerita mengenai upacara Rambu Solo yang diadakan di Tongkonan Karuaya Lembang Tumbang Datu, Kec. Sangalla, Kab. Tana Toraja. Upacara Rambu Solo yang diikuti merupakan upacara penghormatan untuk Alm. Johannis Ne’Rapa, yang tidak lain adalah kakek dari penulis sendiri.

Rambu Solo di Tongkonan Karuaya
Upacara Rambu Solo mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Tana Toraja. Upacara ini mengutamakan penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal dunia sebagai jembatan menuju surga (Puya) menghadap Sang Pencipta. Namun, Rambu Solo ini juga memiliki peran sebagai ajang pertemuan bagi saudara/i dan keluarga setelah sekian lama tak berjumpa. Yaaa,,, tidak mengherankan apabila setiap akhir Desember serta awal tahun, Tana Toraja ramai dengan upacara Rambu Solo.  Demikian halnya dengan Rambu Solo Ne’Rapa. Upacara Rambu Solo dari Ne’Rapa yang meninggal sejak beberapa bulan lalu ini dilaksanakan 5 hari berturut-turut dari tanggal 27 Desember 2010 dan berakhir dengan proses pemakaman pada tanggal 01 Januari 2011, dimana seluruh anak dan cucu Alm yang berada di Pulau Jawa dan Irian, dan Sulawesi khususnya, dapat berkumpul mengikuti dan menyelenggarakan Rambu Solo ini serta dapat merayakan Natal dan Tahun Baru secara bersama pula.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Upacara Rambu Solo di Tana Toraja terdiri dari beberapa tingkatan yang erat hubungannya dengan tingkatan marga dan kedudukan seseorang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat, yang dimana sebagai berikut :
1. Sangbongi
2. Tallung Bongi
3. Limangbongi (Pa’palima)
4. Pitung bongi (Pa’papitu)
5. Pangrapai’
Khusus di Kampung Balik/Bokko, Tambunan/Mangngape dan Randan Batu yang terkenal dengan sebutan Tallung Penanian, hanya menggunakan tiga tingkatan upacara pemakaman Rambu Solo, yakni sebagai berikut :
1. Sangbongi : acaranya hanya satu malam. Hanya 1 (satu) ekor kerbau yang disembelih/dikorbankan, tidak ada budaya ma’badong.
2. Tallungbongi : acaranya 3(tiga) malam. Kerbau yang disembelih 4(empat) sampai 8(delapan) ekor, orang boleh ma’badong.
3. Limangbongi (Pa’palima) : acaranya 5 (lima) malam. Kerbau yang dikorbankan paling kurang ada 12 ekor, batas maksimal tidak dibatasi, berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan keluarga duka. Oleh karena kerbau yang dikorbankan pada acara Rambu Solo Pa’palima ini boleh sampai berapapun jumlahnya (tidak dibatasi), maka acara Pa’Palima ini disebut juga “Sapu-Randanan”.  Tanduk dari semua kerbau yang disembelih pada upacara pemakaman selalu disimpan di depan rumah Tongkonan. Tanduk-tanduk kerbau ini disebut juga “Gayong Lotong”.

Ma'Katia
Tingkatan upacara yang dipakai pada upacara pemakaman Alm. Ne’Rapa sendiri adalah Pa’palima sesuai dengan tingkatan marga serta kedudukannya dalam masyarakat sebagai tokoh masyarakat dan Ambe’ tondok/penatua di Kampung Balik/Bokko.  Pada Pa’palima ini bermacam- macam kesenian budaya yang berhubungan dengan upacara kedukaan diadakan, seperti ma’katia, ma’randing dan ma’badong.

Ma'Badong
Pelaksanaan upacara Rambu Solo dilaksanakan secara adat namun diinkulturasikan dengan ajaran agama Katolik yang dianut oleh almarhum, sehingga terdapat beberapa acara Rambu Solo versi Aluk Todolo (aliran kepercayaan nenek moyang Toraja) yang tidak dapat dilakukan pada acara pemakaman alm karena bertentangan dengan ajaran agama yang dianut, seperti “Sembangan Suke Baratu” dan “Bulangan Londong” (sabung ayam).  

ma' randing
Dalam merencanakan acara pemakaman Alm. Yohanis Ne’Rapa, keluarga serta masyarakat Balik/Bokko sejak bulan Oktober 2010 telah menyiapkan berbagai persiapan dan kegiatan. Persiapan diawali dengan pembenahan, pembersihan lokasi serta pengumpulan bahan yang akan dipakai untuk mendirikan pondok-pondok (lantang) dan pintu gerbang. Mendirikan lantang dan pintu gerbang, serta mempersipakan lokasi adu kerbau (ma’pasilaga tedong) merupakan salah satu bagian dari upacara ini.  Bicara soal kerbau, Toraja terkenal juga dengan salah satu ciri khasnya, yakni kerbau belang (tedong bonga).

Ma'Pasilaga tedong

Tedong Bonga
Tedong bonga ini berharga sekitar 100 – 300 juta/ekor (hmm,, yang unik-unik itu memang sering mahal ya?! ^.^!)

Dari kiri ke kanan : Bupati Tator, Wagub Sul-Sel, Putri Pariwisata Sul-Sel
Dan suatu kehormatan lebih bagi keluarga ketika Wakil Gubernur Sulawesi-Selatan (Bapak Agus Arifin Nu’man), Putri Pariwisata Sul-Sel, serta Bupati Tana-Toraja menyempatkan diri untuk hadir pada event ini. Dengan dijemput oleh penerima tamu, para tamu kehormatan ini selanjutnya menempati posisi yang telah disediakan khusus di tempat VIP.

Anak, menantu, cucu dan cicit Alm.
Tibalah awal tahun 2011 dimana sudah saatnya jenazah Alm. Ne’Rapa diturunkan dari Tongkonan (rumah adat khas Toraja) dan dimakamkan. Sebelum diturunkan dari Tongkonan, anak – cucu terlebih dahulu berkumpul, berdoa dan setelahnya, jenazah kemudian diarek menuju Gereja. Ibadah perayaan Ekaristi (Misa Requem) saat itu berlangsung di siang hari dan kemudian berlanjut ke tempat tujuan selanjutnya yakni tempat pemakaman yang berlokasi di sebuah gunung batu keluarga yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat upacara di Karuaya, Kampung Balik/Bokko.
Kebiasaan menguburkan jenazah di gunung batu ternyata memiliki makna tersendiri bagi masyarakat setempat.  Dengan menguburkan mayat di bebatuan maka tidak akan merusak lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian masyarakat setempat. Masyarakat tidak ingin merusak lahan produktif yang ada, itu sebabnya masyarakat memanfaatkan lereng bebatuan yang banyak ditemukan di Toraja sebagai tempat untuk menguburkan mayat.  Walaupun penguburan tanah sekarang ini sudah lazim dilakukan, namun kebiasaan untuk menguburkan mayat di bebatuan masih  terus dipegang dan berlanjut hingga saat ini oleh masyarakat.


Rambu solo' merupakan upacara adat kematian bagi masyarakat Toraja dengan tujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam keabadian yang sering disebut Puya. Puya diperkirakan terletak di bagian selatan tempat tinggal masyarakat Toraja. Rambu solo sekeligus sebagai media untuk mengantarkan roh orang yang telah meninggal menuju Surga. Upacara ini juga sangat dilirik para wisatawan yang berkunjung ke Toraja. Baik wisatawan domestik maupun wisatawan dari luar negeri. Mereka tak mau menyia-nyiakan momen-monen seperti ini begitu saja, kebanyakan dari mereka telah mempersiapkan kamera untuk mengabadikan kegiatan ini sebagai perjalanan wisata yang sangat menakjubkan.
Sebelum melalui upacara ini, orang tersebut akan dianggap masih hidup dan akan diperlakukan seperti orang yang hidup lainnya. Oleh karena itu, upacara rambu solo' juga dianggap sebagai bentuk penyempurnaan dari suatu kematian. Upacara ini dianggap sangat penting oleh masyarakat Toraja.
Tingkatan status masyarakat juga sangat menentukan tingkatan upacara kematian rambu solo'. Hal ini juga menentukan banyaknya jumlha kerbau yang harus disembeli. Berikut ini tingkatan dalam upacara Rambu solo' antara lain :
  • Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara Tertinggi

Pada Rambu solo', upacara tertinggi biasanya dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya satu tahun. Upacara yang pertama disebut Aluk Pia yang pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya diadakan berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti :
  • Ma'tundan
  • Ma'balun (prosesi membungkus jenazah), 
  • Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah)
  • Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan) dan,
  • Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
  • Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
  • Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
  • Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Pada saat upacara tertinggi rambu solo' , dikenal juga istilah 'mantarima tamu' (prosesi penyambutan tamu) oleh keluarga bagi para tamu yang menghadiri upacara kematian tersebut. Tamu yang datang disuguhi dengan pemberihan siri, makanan dan minimun yang sering disebut dengan istilah 'ma'pairu'. Tamu yang hadir juga ditawari rokok. Penyuguhan rokok pada tamu biasa disebut dengan istilah ma' patole'.
Mengantar Jenasah Menuju Makam

Proses pengantaran jenasah menuju liang lahat juga sangat menarik, arak-arakan dari para pengantar jenasah seakan-akan melambangkan penghiburan terakhir untuk dia yang akan pergi selama-lamanya. Saling siram dan saling dorong terjadi begitu seru.
Seperti yang kita ketahui, upacara kematian memang lebih identik dengan warna hitam. Selain bermakna sebagai bentuk duka cita, warna hitam juga melambangkan sebuah kekekalan dan keabadian. Oleh karena itu, diharapkan agar arwah yang didoakan bisa hidup kekal dan abadi di alamnya.
Begitu juga pengharapan agar budaya yang dimiliki negeri ini tetap kekal menjadi milik Indonesia.
Adat Ma’ Barata (pengurbanan manusia) pada upacara Rambu Solo’ yang masih berlaku sampai masuknya Pemerintah Kolonial Belanda, adalah salah satu adat yang diadakan sebagai penghormatan serta sebagai tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang Topadatindo dan perang saudara pada permulaan abad ke-17. adat Ma’ Barata Bulan bukanlah aluk dalam Aluk Todolo, tetapi hanya sebagai adat sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.
Adat Ma’ Barata ini hanya sebagai :
  • Tanda penghormatan kepada seseorang pahlawan yang telah mempertahankan kedaulatan negerinya dan kehormatan keluarganya serta masyarakatnya.
  • Tanda penghormatan kepada seseorang yang mati dalam peperangan terutana dalam perang saudara dahulu di Toraja.
  • Tanda penghormatan kepada seseorang yang berjasa.
Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dan seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu (batu tugu peringatan pada ups Rapasan yang berdiri di tengan Rante), menunggu saatnya dipancung. Kurban Barata ini boleh saja laki – laki atau wanita yang ditangkap saat perang atau jika tidak ada perang maka ditangkap dengan cara Mangaun (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo. Menurut kesepakatan Topadatindo yang dipegang oleh penerusnya, yang menjadi korban Barata adalah tawanan dalam perang atau orang – orang yang tidak ikut dalam persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yang berasal dari daerah Karunanga, suatu daerah yang terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yang selalu menjadi buronan pada setiap saat adanya rencana adat Barata, itupun melalui pertarungan karena orang yang diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.
Oleh karena sering terjadi perkelahian yang hebat dalam menangkap Kurban Barat, maka sering Kurban Barata itu tak dapat ditangkap dengan hidup-hidup dan kurbannya ditangkap dengan mati, terpaksalah hanya mengambil kepala dari pada kurban itu dan dibawah ketempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yang mati ini sudah dikurbankan Manusia untuknya sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya. Orang yang diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To di Pa’barataan.
Saat ini masih ada tongkonan-tongkonan yang berkuasa di Tana Toraja yang menyimpan Kepala/tengkorak Manusia yaitu tengkorak manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara di Tana Toraja, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yang Pemberani