Jumat, 13 Januari 2012

Upacara Adat Rambu Solo


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian  selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara  penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang  “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang  hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan  minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara  ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi  arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa  pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi  sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan  mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal  dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan  oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang  dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.  Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara  24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah  50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi  berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat  pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja  dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar  upacara ini.
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut  dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”.  Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu  menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan,  mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi  budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan  adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa  musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta  beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,  passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara  yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas  leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang  bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.

Upacara Adat Rambu Solo


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian  selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara  penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang  “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang  hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan  minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara  ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi  arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa  pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi  sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan  mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal  dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan  oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang  dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.  Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara  24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah  50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi  berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat  pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja  dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar  upacara ini.
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut  dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”.  Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu  menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan,  mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi  budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan  adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa  musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta  beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,  passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara  yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas  leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang  bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.

Upacara Adat Rambu Solo


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian  selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara  penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang  “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang  hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan  minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara  ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi  arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa  pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi  sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan  mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal  dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan  oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang  dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.  Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara  24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah  50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi  berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat  pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja  dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar  upacara ini.
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut  dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”.  Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu  menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan,  mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi  budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan  adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa  musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta  beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,  passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara  yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas  leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang  bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.

Tongkonan Terus Diperjuangkan Masuk Warisan Budaya Dunia


Rantepao, Sulsel  (ANTARA News) - Rumah adat Tongkonan di Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan terus diperjuangkan untuk masuk dalam daftar warisan budaya dunia UNESCO.

Hal itu dikatakan Staf Ahli Bidang Multikultural Kementerian Pariwisata dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Hari Untoro Dradjat pada Pentas Budaya dan Kesenian Daerah di Lapangan Kodim Rantepao Kabupaten Toraja Utara, Kamis, yang menjadi rangkaian akhir kegiatan wisata di Kabupaten Toraja dan Toraja Utara, "Lovely December" 2011.

Ia mengatakan, Tongkonan mulai diperjuangkan dalam daftar warisan dunia sejak 2002.

Kemudian, pada 2004, Tongkonan masuk dalam daftar antre warisan budaya dunia dengan nomor registrasi 1.038.

Hingga saat ini, lanjutnya, simbol kebudayaan di Tana Toraja itu masih terus diperjuangkan menjadi warisan budaya dunia.

Secara keseluruhan, potensi pariwisata budaya, tradisi dan alam Toraja serta kegiatan "Lovely December" telah menjadi salah satu agenda penting pariwisata nasional yang terus dipromosikan.

"Lovely December adalah kegiatan pariwisata yang memperlihatkan bahwa masyarakat Toraja sangat menghargai tradisi dan mengembangkannya sebagai destinasi budaya," katanya yang mewakili Menteri Pariwisata dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Mari E. Pangestu.

Dengan citra baru pariwisata Indonesia "Wonderful Indonesia", kegiatan wisata tahunan "Lovely December" Toraja diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian target wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara pada 2011.

"Mari kita kerja keras untuk terus mendorong peningkatan kunjungan wisatawan. Saya mengapresiasi Pemprov Sulsel serta Pemerintah Kabupaten Tanah Toraja dan Toraja Utara yang terus menerus melakukan percepatan pengembangan pariwisata mandiri, modern melalui berbagai kegiatan "Lovely December". Budaya masyarakat yang terlahir dari tradisi harus terus dikembangkan," jelasnya.

Ia juga menyampaikan penghargaan kepada seluruh pihak yang terlibat dan menilai bahwa kegiatan wisata yang telah ketiga kalinya digelar tersebut memiliki arti penting dalam pengembangan pariwisata, budaya serta peningkatan kesejahteraan masyarakat

Gubernur : Toraja tidak Boleh Kalah dari Bali


"Toraja tidak boleh kalah dengan Bali, bahkan Malaysia dan Singapura. Kita harus bangun kekuatan pariwisata kita dengan budaya," katanya pada Pentas Budaya dan Kesenian Daerah di Lapangan Kodim Rantepao, Kamis.

Pentas budaya dan kesenian tersebut merupakan rangkaian akhir atau puncak kegiatan wisata di Kabupaten Toraja dan Toraja Utara, "Lovely December" 2011 yang digelar sejak 17 Desember 2011.

Ia mengharapkan, penyelenggaraan "Lovely December" pada tahun-tahun berikutnya dapat diselenggarakan lebih besar dan bervariasi.

"Wisatawan mancanegara yang datang tidak hanya segelintir lagi, tapi mereka ada di setiap "Tongkonan" (rumah adat khas Toraja) menikmati indahnya Toraja," katanya yang menambahkan keindahan alam dan budaya Toraja harus semakin luas diketahui dunia.
Selain pariwisata, ia pun berharap, seluruh pihak dapat terus melestarikan budaya dan tradisi di Toraja dengan baik sehingga mampu menjadi kebanggan Indonesia dan dunia.

Ia optimistis, harapan untuk mengembalikan kejayaan pariwisata Toraja melalui peningkatan jumlah kunjungan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara dapat diwujudkan terlebih dengan keberadaan fasilitas bandar udara baru yang kini dalam tahap pembangunan.

Pembangunan fisik bandar udara baru di Dusun Bonto Kunik Kecamatan Mangkendek, direncanakan akan dimulai pada 2012.

Luas total lahan pembangunan 225 hektare dengan landasan dua arah sepanjang 1.900 meter dan dapat melayani pesawat berkapasitas 100 penumpang.

Bandara ini, nantinya, akan melayani penerbangan komersial dari dan ke Toraja dan sejumlah daerah di Indonesia dan luar negeri.

Gubernur kemudian mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak, khususnya masyarakat Toraja yang telah terlibat dan mendukung penyelenggaraan "Lovely Toraja" yang telah memasuki tahun penyelenggaraan ketiga.

"Jaga Toraja yang adatnya ramah, jujur pada kehidupan, tulus, kreativitas berkarya melalui berbagai hal seperti ukiran dan kain tenunan. Kita tekadkan esok lebih baik dari hari ini," katanya.

Minggu, 08 Januari 2012

Sejarah Suku Toraja


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili'na Lepongan Bulan Tana Matari'allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan matahari". Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Mitos



Rumah Adat Toraja
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit"(eran langi’) untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
 Aluk
Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Aluk Sanda Saratu
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tamboro Langi' yang merupakan pembawa aluk Sanda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Aluk Sanda Pitunna
Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.
Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suke dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan".
Kesatuan adat
Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo yang secara harafiahnya berarti "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.
Upacara adat
Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
  • Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara tertinggi
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
  • Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
  • Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
  • Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.
Rambu Tuka



Tarian Manganda' pada upacara Ma'Bua'
Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'.
Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
 Nilai Tradisi Vs Keagamaan
DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga
Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.
Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang "Penyimpanan Mayat di Tana Toraja", supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.
Pemakaman
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :
  • Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.
Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
  • Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
  • Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
  • Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
  • To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
  • Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
  • Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
  • Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.
 Tempat upacara pemakaman adat


"Rante"
Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Tau-tau
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.


Jumat, 06 Januari 2012

Tedong Seleko Simbol Kebangsawanan


Jika di sebagian belahan Nusantara kerbau hanya dipandang sebagai hewan ternak dan sering kali ditemukan berkubang lumpur di sawah, tidak demikian halnya dengan kerbau yang ditemukan di sekitar kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja.

Dalam upacara adat Toraja seperti Rambu Solo, kerbau memegang peranan sebagai piranti utama. Kerbau digunakan sebagai alat pertukaran sosial dalam upacara tersebut. Jumlah kerbau yang dikorbankan menjadi salah satu tolok ukur kekayaan atau kesuksesan anggota keluarga yang sedang menggelar acara.

Pada perayaan Rambu Solo almarhumah Agnes Datu Sarunggallo, ibu kandung istri Bupati Sinjai, Andi Rudiyanto Asapa, kerbau termahal dihadirkan pada pesta tersebut. Konon, kerbau ini sebagai termahal sepanjang pesta kematian di Kabupaten Toraja.

Kerbau itu berjenis Tedong Saleko. Usianya mencapai 14 tahun lebih dihargai sebesar Rp360 juta. Sebenarnya, tidak banyak yang membedakan antara Tedong Saleko dengan Tedong Bonga, kecuali pada warna bulunya. Tedong Bonga mempunyai bulu berwarna putih pada bagian kepala saja, tapi Tedong Saleko mempunyai bulu berwarna putih pada semua bagian tubuhnya.

Lalu mengapa Tedong Saleko mempunyai nilai jual melambung tinggi dan bagaimana cara memeliharanya? Ketua Satu Panitia Perayaan Rambu Solo, Predy Batuarung mengungkapkan tedong Saleko memang menjadi primadona di Kabupaten Tana Toraja karena kerbau jenis ini hanya bisa lahir di Toraja. Selain itu, tedong Saleko tidak lahir sembarang dan hanya lahir pada pemilik kerbau yang beruntung saja.

“Pernah dilakukan upaya kawin silang untuk mendapatkan jenis kerbau Saleko ini namun tidak berhasil. Terkadang juga jenis Saleko dilahirkan oleh kerbau berjenis biasa atau berbulu hitam. Itu artinya Tedong Saleko memang benar-benar unik,” jelas Predy.

Lebih lanjut Predy mengatakan biasanya jenis kerbau Saleko hanya dimiliki oleh keturunan raja-raja atau mereka yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Tedong Saleko, kata Predy, hanya sekadar peraga karena bukan jenis kerbau petarung. Bulunya yang unik serta memiliki mata seperti memakai softlens (lensa mata) menjadi keunggulannya.

“Kalau sudah dipotong, dagingnya tidak ada yang membedakan dengan daging kerbau lain. Dia hanya istimewa jika masih hidup. Makanya orang yang menyumbangkan tedong Saleko pada perayaan Rambo Solo seperti ini berarti dia punya sistem kebangsawanan yang tinggi,” pungkas Predy lagi.

Pada perayaan Rambo Solo di Palataran Duka Tongkonan Tiroranu Siguntu, Rabu 28 Desember kemarin, tedong Saleko ini menyedot banyak perhatian pengunjung. Tidak jarang yang mengabadikan dengan berfoto. Tedong Saleko itu diikat tepat di depan salah satu lantang-lantang (rumah-rumah, red) di pelataran duka. Matanya yang unik dan pusaran bulu yang banyak serta mengkilap menjadi alasan pengunjung tertarik dengan tedong Saleko itu. Yang paling utama tentu informasi mengenai harganya yang sampai ratusan juta rupiah.

Soal pemeriharaan, tedong Saleko ini memang membutuhkan perhatian ekstra. Selain butuh mandi dua kali sehari dengan menggunakan sampoh, tedong ini juga harus disuapi saat makan.

Gembala atau yang lebih familiar di Toraja disebut Passoma, Bapak Paran membeberkan dia dibantu anaknya memperhatikan betul tedong Saleko yang dia pelihara itu. Bahkan Paran rela kelaparan asal tedong Saleko yang dia pelihara tidak merasakan kelaparan.

“Saya saja tidak pakai sampoh, tapi Saleko ini tiap mandi dua kali dalam sehari pasti dipakekan sampoh. Kalau makan saya suapi dan kalau tidur saya pakekan kelambu,” kata warga Kadundung itu.

Bukan hanya itu, tedong Saleko itu mempunyai dokter khusus dari Dinas Kesehatan Toraja. Setiap tiga bulan sekali tedong Saleko itu diperiksa dan diberikan pil berupa vitamin serta suntikan.

Sementara itu, kandangnya juga harus selalu bersih dan bebas dari kotorannya sendiri. “Kalau buang air itu langsung saya disikat dan disiram,” katanya.

Paran mulai memeliharan tedong Saleko termahal itu saat kerbau itu berumur dua tahun. Tedong Saleko itu dimiliki dan disumbangkan oleh seorang pengusaha swasta dari Jakarta yang masih merupakan keluarga almarhumah Agnes Datu Sarunggallo yakni Edison Rombe.

Soal bayaran memelihara tedong Saleko, Paran mengaku mendapat bagi dua dari keuntungan modal awal. Tapi untuk pembuatan kandang dan pemeliharaan berupa pembelian sampoh dan pemeriksaan kesehatan semua ditanggung pemilik.

“Tidak sembarang juga yang bisa memelihara karena kita harus punya tanah yang khusus ditumbuhi rumput untuk makanannya. Kita juga harus bisa bersabar dan menyayangi kerbau ini seperti kita memelihara istri atau anak kita, bahkan lebih dari itu,” beber Paran.

Selain tedong Saleko itu, hal menarik lainnya yang sangat menyedot perhatian pengunjung yakni acara pertarungan kerbau atau silaga tedong. Dua kerbau yang bertarung pada pelaksanaan silaga tedong itu mendapat semangat dari pendukung masing-masing dengan teriak yang khas.

Sayang, kerbau milik Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang turun pada ronde pertama kalah melawan kerbau milik Paulus. Pertarungan ronde pertama ini termasuk yang paling seru karena kerbau milik Prabowo yang sudah kalah melarikan diri ke arah penonton. Sontak para penonton berhamburan sambil berteriak histeris.

Pada setiap pertarungan, kerbau yang sering muncul sebagai pemenang memiliki penggemar tersendiri di arena pertandingan yang digunakan sebagai ajang hiburan rakyat serta pertaruhan uang antarwarga tersebut.

Sebelumnya, diadakan penyambutan bagi seluruh tamu dari keluarga almarhumah yang datang. Mereka disambut dengan acara penyambutan adat dengan iring-iringan pemuda dan pemudi Toraja lengkap dengan pakaian adat Toraja. Seluruh rombongan berjejer pada urutannya masing-masing. Rombongan pertama diawali oleh rombongan keluarga Puang Sangalla yakni keluarga Puang Atto Sakmiwata Sampetoding disusul keluarga mantan Pandam VII Wirabuana, Djoko Susilo Utomo diikuti keluraga yang lain.

Minggu, 01 Januari 2012

Tongkonan masuk daftar warisan budaya dunia

RANTEPAO, FAJAR -- Rumat adat Tana Toraja, Tongkonan, diusulkan pemerintah Indonesia masuk dalam daftar warisan budaya dunia. Rumah adat Toraja itu telah masuk dalam daftar antre 1.038 di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

“Penetapan Tongkonan sebagai warisan dunia menunggu konvensi UNESCO tahun berikutnya,” ujar Staf Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Multikultur, Hari Untoro Drajat saat puncak perayaan Lovely December 2011 di Lapangan Dandim Rantepao, Toraja Utara, Kamis 29 Desember.

Menurut Hari Untoro yang mewakili Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari E Pangestu, sejak tahun 2010 pemerintah telah mengusulkan rumah adat Toraja itu masuk dalam daftar. Menurut dia, Tongkonan telah lama ada dan menjadi simbol kreativitas masyarakat Toraja sekaligus kekayaan budaya Sulsel.

"Kini tinggal tahap akhir penentuan. Insya Allah UNESCO akan memasukkannya sebagai bagian dari warisan budaya seperti budaya Indonesia lainnya yang masuk daftar," katanya.

Sebelumnya, warisan budaya Indonesia yang masuk dalam daftar representatif budaya "takbenda" warisan manusia yakni Wayang, Keris, Batik, dan Angklung. Empat warisan ini diputuskan melalui Konvensi UNESCO tahun 2003. Sedangkan Tari Saman asal Aceh masuk daftar saat Konvensi UNESCO di Bali November 2011 lalu.

Warisan budaya takbenda didefinisikan sebagai, segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan; serta alat-alat, benda (alamiah), artefak dan ruang-ruang budaya terkait lainnya yang diakui oleh berbagai komuniti, kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan ini diekspresikan dalam lima domain meliputi tradisi dan ekspresi lisan termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan, pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, dan kemahiran kerajinan tradisional.

Menurut Hari Untoro, momen Lovely December yang kini menjadi event resmi pariwisata nasional harus terus dikembangkan agar lebih dikenal dunia. Apalagi Indonesia telah mencanangkan tahun 2011 menjadi kunjungan wisatawan asing mencapai 7 juta orang. Sedangkan wisatawan nusantara 27 juta orang. Lewat Lovely December itulah diharapkan angka kunjungan terus naik.

"Sudah seharusnya kita bekerja lebih keras lagi, melalui pameran, pertunjukan seni, pemeran kerajinan, kuliner khas Tana Toraja. Semua itu akan memancing orang masuk ke Toraja," ungkapnya.

Sejumlah tamu penting hadir di puncak acara Lovely December di antaranya Wakil Duta Besar Jerman untuk Indonesia Heidrun Tempel, Kepala BNN Gorris Mere, Kapolda Sulsel Irjen Pol Johny Wainal Usman, Pangdam VII Wirabuana Mayjen  TNI Muhammad Nizam, dan sejumlah bupati se Sulsel.

Sementara itu Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo berjanji akan mempercepat perampungan bandara baru yang terletak di Buntu Kunyi, Kecamatan Mengkendek. Ditargetkan pada pelaksanaan Lovely Toraja di akhir 2012 mendatang, pesawat berbadan lebar sejenis ATR-42 sudah bisa mendarat di bandara pariwisata Toraja.

"Saatnya nanti, kunjungan kian ramai dan itulah yang kita inginkan. Turis yang ingin ke Toraja tak perlu lagi lewat Makassar, tapi bisa langsung ke Toraja melalui bandara tersebut," ungkap gubernur.

Syahrul menyatakan pariwisata Toraja tidak boleh kalah dari Bali, bahkan Malaysia dan Singapura. “Kita harus bangun kekuatan pariwisata kita dengan budaya. Adat Toraja ini tak ada samanya di dunia," katanya.

Gubernur berharap, penyelenggaraan "Lovely December" pada tahun-tahun berikutnya dapat diselenggarakan lebih besar dan bervariasi.

"Wisatawan mancanegara yang datang tidak hanya segelintir lagi, tapi mereka ada di setiap "Tongkonan" (rumah adat khas Toraja) menikmati indahnya Toraja," katanya yang menambahkan keindahan alam dan budaya Toraja harus semakin luas diketahui dunia.

Perayaan Lovely December mencapai puncaknya malam tadi. Pesta kembang api selama dua malam berturut-turut menghiasi langit Makale dan Rantepao dan ditutup dengan berbagai hiburan. Masyarakat lokal maupun pendatang tumpah ruah di berbagai pusat acara.

Pada kesempatan yang sama, gubernur juga menyerahkan bantuan APBN melalui program Gerakan Terpadu Pengembangan Desa (Getar Bangdes) di antaranya kelanjutan pembangunan air baku Silaga di Lembang Sapan, Paonagan, Pangkung Batu dan Prandangan.

Objek Wisata Kete Kesu juga mendapat bantuan Rp222 juta, pekuburan Toa Londa senilai Rp289 juta, penataan lingkungan tongkonan Kollo-kollo Rp164, 9 juta dan pembangunan monumen salib raksasa Rp1,1 miliar.

Bupati Toraja Utara Frederik Batti Sorring selaku tuan rumah pun mengklaim pelaksanaan Lovely December ke III tahun ini lebih sukses dari tahun sebelumnya. Hal itu dibuktikan dengan angka kunjungan dan belanja pariwisata dan budaya yang lebih besar. Hotel dan penginapan selama berlangsung acara full booking. Begitupula dengan belanja pariwisata dan budaya Toraja.

"Tahun ini kami harus mendatangkan 2.000 kerbau hidup dari luar Toraja, berasal dari NTT dan Kalimantan. Kebutuhan kerbau tak lagi mencukupi karena produksi lokal terbatas. Semua itu dipakai untuk pesta adat Rambu Solo dan Rambu Tuka. Ini potensi ekonomi yang luar biasa dan mestinya kita manfaatkan, terutama kabupaten tetangga," tutur bupati.

Dua hari terakhir pengunjung ke Toraja memang sedang membeludak. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menghadiri acara Rambu Solo keluarga Bupati Rudiyanto Asapa bahkan harus mengendarai motor karena terjebak macet di tempat acara.

10 traditional settlements or constituents in toraja

Tana Toraja Traditional Settlement is a series of 10 traditional settlements or constituents of them, such as burial or ceremonial grounds. The properties are scattered within Tana Toraja Regency in the Province of South Sulawesi, Indonesia. Tana-Toraja occupies about 3.205 km2 of a relatively hilly terrain with plateaus rising from 300 to 2,800 meters above sea level.
The nominated Tana Toraja Traditional Settlement consists of 10 sites which are dispersed in the Tana Toraja Regency (see part I). Traditionally, a Toraja settlement consists of a compound of houses (tongkonan) and granaries (alangs), burials (liang), ceremonial grounds with menhirs (rante), rice-fields, bamboo forests, and grazing ground or pasture for buffalo and pigs. However, not all the nominated sites possess all the settlement components, on account of developmental changes in each site. A brief description of the nominated sites is provided in part I Identification of the Property. The following descriptions present some complementary information about each site.
The properties of the proposed Tana Toraja Traditional Settlement can be briefly described as follows:
1. Pallawa Site
Pallawa site is also a compound of houses and granaries. In total there are 11 houses and 15 granaries. Like many Toraja compounds, the Pallawa houses and granaries are arranged in two parallel rows aligned east-west direction. The houses face north, while the granaries face south. The entrance is situated in the western side of the compound. The ceremonial ground lies about 350 meters to the east.
2. Bori Parinding Site
The site of Bori Parinding is a combination of ceremonial grounds and burials. The ceremonial ground is an open space used for traditional ceremonies, including rituals for the dead and thanksgiving. More than a hundred menhirs stand on the ceremonial ground, each representing a feast of merit performed in the past by a person of high status. Human remains are placed in stone chambers carved out of huge stone boulders, which lies scattered around the ceremonial ground. There are five tongkonan compound spread around the area. Bamboo is now planted in some places around the ceremonial ground to replace the extinct bamboo forest of the traditional settlement.
3. Kande Api Site
The site of Kande Api consists of a compound of houses and granaries, ceremonial ground and burial places. There are 4 houses and 11 granaries within the compound. The houses and granaries stand respectively in the southeast and northwest, facing each other. An open space of about 20 meters wide runs the length of the compound, separating the houses and granaries. The ceremonial ground is an elevated piece of land lying about 75 meters southwest of the compound. A church has been built in the north-eastern corner, surrounded by a considerable number of standing menhirs. Towering limestone cliffs lie some 25-50 meters north of the compound. In the past, the foot of these hills served as a burial site for the Kande Api people.
4. Nanggala Site
Nanggala site is principally a compound of 2 houses (tongkonan) and 16 granaries (alang), arranged in rows and aligned east-west. The houses and granaries lie respectively on the southern and northern ends of the compound, facing each other. Between them, an open space is used for social interaction and family gatherings. The compound is surrounded by a low stone wall with an entrance on the western side. To the east lies the ceremonial ground (rante) and graveyard, where several wooden coffin houses (patane) are placed.
5a. Buntu Pune Site
Formerly, the sites of Buntu Pune and Rante Karassik belonged to one integrated settlement. Buntu Pune was the dwelling compound and Rante Karassik was the ceremonial ground. Although these sites are now separated due to recent development, the sites still function as they did in the past. In this nomination, therefore, both sites are considered as a single unit of traditional settlement and numbered 5a and 5b respectively.
5b. Rante Karassik Site
The site of Rante Karassik is a ceremonial ground on a sloping hill. As mentioned above, this site is actually a part of the Buntu Pune traditional settlement. Until today, the Buntu Pune people still use the ground for certain ceremonies, in particular those connected with death. Since Rante Karassik is situated quite far from the Buntu Pune compound, the two sites appear to be quite separate. Uniting them is no longer possible, since recent development has resulted in a dense population of the area in between.
6. Ke'te Kesu' Site
Among the nominated sites, Ke'te' Kesu' is the most complete settlement. The site consists of a compound of houses and granaries, burial place, ceremonial ground, ricefields and water-buffalo pasture. The cultural landscape around Ke'te' Kesu' makes this area one of the most beautiful places in Tana Toraja.
Ke'te Kesu' compound comprises 6 Tongkonan houses and 12 granaries. The houses and granaries are laid out in the traditional arrangement and one of the houses serves as a museum. To the north, at a distance of about 50 meters, lies the ceremonial ground, displaying more than 20 menhirs.
7. Pala' Toke' Site
The site of Pala Toke is principally a burial place located on a towering limestone hill, from where a rice field extends to the north, east and west. A compound of 4 houses and 5 granaries, as well as a ceremonial ground displaying menhirs, lies about 200 meters north of the burial place.
8. Londa Site
Londa is a grave site where two methods of burial are customary. Here, the coffins of ordinary people are placed in caves and crevices at the foot of the hill, while the remains of persons of higher rank rest in burial chambers carved from the wall of the limestone cliff. The latter are accompanied by Tau-tau, placed close to the chamber. The higher the status of the deceased, the higher the chamber, which can be situated as far as 50 meters from the ground.
9. Lemo Site
Lemo is also a cliff burial site with galleries of ancestor statues. In contrast to Londa, coffins here are not deposited in caves or crevices at the foot of the hill. To the north lies a compound of four granaries and one Tongkonan.
10. Tumakke Site
The site of Tumakke displays a distinctive traditional house built on a raised terrace. Although its construction is no different to the common Toraja dwelling, the saddle-like roof of the Tumakke house is covered with stone slabs measuring 50-60cm long, 30-40cm wide and 5-10cm thick. On the north-eastern side of the house, at a distance of some 5 meters, stands a small granary.
Justification for Outstanding Universal Value
Justification of Outstanding Universal Value
The nominated Tana Toraja Traditional Settlement is significant for a number of reasons.
Tana Toraja Traditional Settlement and culture still retain the characteristics of early Austronesian culture. These can be demonstrated by Toraja cosmology, ceremonies, settlement arrangement, houses, decorations, and the role of water buffalo. In this regard, the heritage has an indispensable scientific value as a source of analogy to study the past.
Elements of Tana Toraja Traditional Settlement, such as tongkonan house, arrangement of settlement, and decorative art, demonstrate an outstanding design, technique, functional concept, and workmanship. Hence, definitely the heritage has relative artistic and technical values.
Tana Toraja Traditional Settlement is a part of living tradition. It is a manifestation of Aluk Todolo, the Toraja belief system which governs the life of the society. It is related to various ceremonies and customs within the Toraja cultural system. Indeed, it has emotional ties with the society. The nominated heritage has a strong identity as well as social values not only for Toraja people but also for Austronesian ethnic groups which makes up the majority of the Indonesian population.
Tana Toraja Traditional Settlement demonstrates its potential for cultural tourism. The cultural landscape created based on local wisdoms may bring awareness on the nature-culture relation. This means that the heritage has educational value.
From the above, it is clear that the nominated Tana Toraja Traditional Settlement is significant for a number of reasons.
Satements of authenticity and/or integrity
The Tana Toraja Traditional Settlement is a living tradition. It is a heritage that has been handed over from generation to generation for at least 700 years or even longer back to prehistoric time. Indeed, as a living culture, changes occurred along the time. Torajans, who are used to live in an isolated hill, had moved to low land. Burial customs had also changed especially since the seventeenth century when the Buginese from the coastal area to south invaded Tana Toraja. Prior to that time, human remains and precious burial gifts were stored in elaborately carved wooden coffins. During the invasion, lots of the precious gifts and beautifully decorated coffins were destroyed. Since then, Torajans began to make less decorated coffins and placed them high on the cliff-face vaults, reserving more intricate carving for the tomb doors and portrait statues of the deceased, tau-tau. More recently, bamboo forest were replaced with cash crops.
However, all of these changes should be understood as a dynamic process that commonly occurs within a living culture. These changes are part of the historical stratification. The nominated Tana Toraja Traditional Settlement meets the test of integrity and authenticity in many aspects such as cosmology, burial customs and ceremonies, settlement pattern, housing construction, and ornamental design. As explained in point 2 (a) above, the Torajan cosmology represents an ancient cosmology common to pre-state Southeast Asian communities which is now vanishing. The Toraja burial custom and ceremonies are exclusive. Such complicated and expensive ceremonies sustain many aspects of prehistoric megalithic culture which cannot be found in any other part of the world today.
Comparison with other similar properties
Aside from Toraja, living megalithic cultures still exist in some places in Indonesia, mainly among the Batak (Sumatra), and the islands of Nias (west of Sumatra), and Sumba (in Lesser Sunda Islands). All of them have been influenced by modern culture to varying extents. There are indeed some basic similarities among these living megalithic cultures, especially in cosmology, settlement pattern, ornamental design, and subsistence, since they have a common root in the prehistoric culture of Early Austronesians. However, none of them are identical and each demonstrates peculiarities of its own.
The Batak people who live on Samosir islet in the middle of Lake Toba in the interior of North Sumatera still maintain their traditional houses, settlement patterns, and ornamental design. But they do not construct stone monuments anymore and practice less elaborate secondary burial custom. Similarly, the people of Nias still maintain their traditional house, settlement patterns, and ornamental design. Ceremonies for the dead as well as thanksgiving festivals are conducted, but are not as complex as in Toraja. Upright stones are erected only occasionally within the housing compound. The people of Sumba continue to build megalithic structures, but elaborate and expensive ceremonies for the dead have been abandoned.
Tana Toraja Traditional Settlement and culture differs in many aspects to other living megalithic traditions in Indonesia. Toraja burial customs with their elaborate and complex ceremonies, numerous water-buffalo sacrifices and varied burial methods (hanging coffins, rock chambers, cave burial), have no other living comparison.