Kamis, 06 Desember 2012

Tongkonan basse kecamatan buntao



Tongkonan basse adalah kelurahan atau yang lebih dikenal dengan lembang yang terletak di sebelah timur laut kecamatan buntao,toraja utara.
Wilayah Tongkonan basse meliputi daerah kappa, borong, ampang bassi, rantenduk, karengke, dan sebagainya. Adapun geografi tongkonan basse adalah pegunungan dimana ada rangkaian pegunungan seperti sudinding, dan malenong, yang merupakan pegunungan dari gunung kadinge.
 AGAMA
Adapun agama yang ada di tongkonan basse sendiri terdiri dari agama katolik, dan protestan, serta islam.
*katolik
Agama katolik di daerah tongkonan basse sendiri memiliki gereja tersendiri yang masih berupa stasi yang  masuk dalam paroki sangalla, kevikepan Tana toraja, keuskupan Makassar.
*protestan
Agama protestan di tongkonan basse mempunyai gereja yang merupakan cabang dari gereja toraja, nama gereja protestan yang ada di tongkonan basse adalah gereja toraja jemaat kadinge’.
*islam
Agama islam yang merupakan minoritas di tongkonan basse mempunyai sebuah mesjid yang terletak di daerah bala batu.
Upacara adat
Di wilayah tongkonan basseseperti halnya di daerah di toraja memiliki dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
  • Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
  • Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta;
  • Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
  • Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu atau kayu yang di pancangkan kedalam tanah.
  • Sisembah lentek, yaitu adu kaki antara lelaki atau perempuan yang saling berpasangan dan bergandeng tangan dan saling menendang dengan lawan mereka, permainan berhenti apabila tangan dari pasangannya terlepas.
  • Ma’rombongan dimana ketika pada saat upacara ada kerabat yang dating maka akan di jamu oleh keluarga yang meninggal, adapun kerabat yang dating umumnya membawa persembahan seperti kerbau, babi, ataupun uang.
Di daerah tongkonan basse tidak ada upacara ma’pasonglo’ dan pemotongan kerbau yang banyak, tapi seseorang dapat mengelar ma’pasonglo’ apabilah dia menggunakan adat dari leluhurnya yang bukan berasal dari tongkonan basse, dan seperti halnya di daerah buntao pemotongan babi dilakukan dengan menikam bagian telinga(tibok talinga).
Rambu Tuka
Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua ma’pakawin, dan Mangrara Banua Sura'.
Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
Pemakaman
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman sekarang umum nya berasal dari kayu yang di bentuk menjadi peti, api ada pulah yang di bungkus dengan kasur kemudian di selubungi kain merah dan ada pula yang di beri hiasan seperti ukiran-ukiran dari emas atau kertas emas cara ini di kenal dengan ma’balun. Pemkamannya sendiri di kubur di tanah secara langsung atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang ada di tongkonan basse, seperti di :
  • Borong sumpuh dimana kuburan ini terletak di daerah kapa dan termasuk kuburan khusus orang yang beragama katolik.
  • Lantang batu yang terletak di daerah karengke dimana di kuburan ini terdapat beberapa petane yang berasal dari satu rumpun keluarga. Adapun kuburan ini pernah masuk ke sebuah acara televisi swasta.
Maaf jika kata-katanya masih salah karena masih penulis pemula….
apabilah ada yang perlu di tanyakan mengenai toraja khususnya daerah buntao silakan memberi pertanyaan…
heheheeheh


Jumat, 14 September 2012

SYAIR MEMBANGKITKAN MAYAT



Ma’nene’ ialah upacara di sekitar kubur, dengan membersihkan liang kubur, memberikan persembahan kepada arwah leluhur, mengganti pakaian baru bagi jenazah apabila bungkusnya sudah tua, dan mengganti pakaian tau-tau yang sudah lapuk. Upacara ini dilaksnakan sesudah panen. Di beberapa daerah ritus itu merupakan kelengkapan dari ARS (Aluk Rambu Solo’) dan dilaksanakan sesudah panen berikutnya sesudah pemakaman. Sementara itu di beberapa daerah lainnya ritus ini tidak rutin artinya acara ini dilaksanakan menurut kesempatan entah setahun berikutnya atau beberapa tahun kemudian. Untuk beberapa daerah lainnya kesempatan ini dipergunakan untuk menyusulkan atau menambah korban persembahan bagi mereka yang telah dikubur. Di Pantilang upacara ini disebut “Ma’To’longgi”, atau “Ma’pundu”, Di Baruppu’ disebut “Ma’Nene”, Di Sa’dan disebut “Ma’Palin”.Berikut adalah Syair untuk mengundang arwah, yang diucapkan atau di lantunkan oleh Tominaa:

        Iate to mamma’ lan batu dilobang
To matindo lan kumila’ kalle-kallean
La kutundanpakomi susi to mamma’
La kuruyangpakomi ten to matindo
Kamumo te la kisassan kapuran pangan
Kamumo te la kiserekan passambako-bakoan
Anna bo’bo’ ditoding kuni’
Anna rido ditanda mariri’
Sia ma’bayu ka’pun
Bonde tang ketanda-tanda
Dadi limbongmokomi indete rampe matampu’
Tasikmokomi inde kabotoan kulla’
Ammi arru’i te pa’dunna bai
Ammi papassudi te tanda I’lanna to massali tallang
Anna mammi’ mipatobang di kollong do likaran biang
Anna marasa miparonno’ di baroko do sellukan tille
Kukua mangkamokomi ditandan allu’ lan kapuran pangan
Upu’mokomi ditandan pepasan lan pelamberan baulu
Tae’mokomi la salian rinding
Tang deganmokomi la leko’na minangan banua
Dadi la kumandemokomi massola nasang
Anggemmi tokiporara rarana
La tumimbu’na tokipolamba’ makaise’na
Angki kandei ra’dak barokomi te kami lolo kandauremi
Kipopamuntu tang ti’pekki massola nasang.

Terjemahan Bebas

Hai Engkai yang tidur dalam liang batu
Yang bersemayam dibalik tubir batu yang mengagumkan
Akan kubangunkan engkau layaknya orang tidur
Akan kuguncang engkau seperti yang lelap
Bagimulah kami menyiapkan sirih dan pinang
Untukmulah tembakau disajikan
Dan nasi bertanda kunyit
Dan rejeki berwarna kuning
Dan babi berbaju polos
Babi tak punya bintik
Berkumpullah engkau sebanyak-banyaknya di sebelah barat
Berhimpunlah tanpa batas di ufuk matahari terbenam
Hendaklah engkau menyantap empedu babi ini
Runcingkanlah bahagian dalamnya
Untuk mereka yang mencari kedamaian
Supaya lesat dijatuhkan ke leher di atas tempat persembahan dari gelagah
Supaya sedap melewati kerongkongan di atas anyaman pimping berisi persembahan
Seperti yang kukatakan bagimu, waktu telah kutetapkan
Untuk menerima persembahan kapur sirih
Telah menerima ketentuan saat meneriman lembaran daun sirih
Tak ada lagi kalian yang berada di luar dinding
Tak ada lagi dibalik birai-birai rumah
Jadi hendaklah engkau semuanya makan
Sekalian menglirkan darahnya kepada kami
Kalian yang darahnya mengalir dalam tubuh kami, santaplah
Supaya kami anak cucumu makan yang sisa
Supaya beranak cucu layaknya rumpun bambu
Merambak bagaikan rumpun aur.

Bagi masyarakat Baruppu’ upacara ma’nene’ merupakan upacara tahunan yang dilaksanakan sesudah panen. Ia merupakan upacara massal bagi seluruh keluarga Baruppu baik yang tinggal di kampung maupun yang berada di luar daerah. Oleh karena itu kesempatan ini dimanfaatkan pula sebagai sarana untuk mengadakan reuni keluarga, reuni masyarakat Baruppu’ terutama bagi perantau. Karena ma’nene’ adalah penghormatan bagi seluruh arwah yang jenazahnya berada di dalam liang batu di Baruppu’ sehingga upacara ini meliputi seluruh orang Baruppu’. Ketika diadakan pemakaman dulu, mungkin banyak keluarga yang tidak sempat hadir karena berada di luar daerah, maka pada kesempatan inilah mereka luangkan waktunya untuk menyatakan dukacitanya. Jenazah di baruppu’ tidak boleh disimpan lebih dari 5 malam untuk menunggu keluarga jauh. Pada upaca ma’nene’ itulah kesempatan para perantau atau keluarga untuk pulang kampung mengadakan reuni.
Bagi janda/duda baru (yang baru satu tahun dikuburkan) pada kesempatan inilah dilaksanakan aluk perpisahan dengan almarhum suami atau istrinya, artinya dalam satu tahun terakhir itu, mereka (suami/istri) masih merasa bersama-sama, walaupun dalam dunia nyata tidak seperti itu. Sebelum jenazah suami atau istri dimasukkan kembali ke dalam liang kubur, Tominaa mengucapkan ritus perpisahan antara almarhum dengan janda atau dudanya sebagai berikut :

La diannamoko tama batu dilobang
La sangtongkonanmoko topada tindo
Mintu’ nene’ tepo a’pa, tepo karua, daluk sangpula anna
La mendapo’moko napatudu lalan tepo a’pa’mu
Mupatudu lalanni te balimmu anna mendapo’
Manassamoko piak lindo masakke
La situlak-tulakmoko keallo kebongi
La mupatudu lalan lumbang rokko padang
La pakandean manuk la dedekan palungan
La rendenan tedong nang la iko napassarei
La mupatudu lalan tang sipaboringan kada
Dipapada lando dipasiboko’ rinding dipasisa’de minanga
La muoli’ lan patudu lalan
Kiolo dukako kerokkoan padang
Na kendek buranna padang
Na lambi’oi dipatamako kapuran pangan
Ma’pamasakke ma’pakianak
Ammu kianak sola nene’ todolomu
Angki kianak ma'kepak patomali

Minggu, 27 Mei 2012

TANANAN DAPO'/RAMPANAN KAPA'


Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam) ekor kerbau Sangpala’.
Demikianlah maka perkawinan itu dilakukan dalam 3 cara. Hai itu ditentukan oleh kemampuan dari yang mengadakan perkawinan dan ketiga cara ini tidak dititikberatkan pada adanya tana’ atau dengan kata lain cara kawin ini ditentukan saja oleh waktu perkawinan dan karena itu maka dikenallah tiga macam waktu serta menjadi pula tiga tingkatan masing-masing:

  1. Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-aki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
  2. Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
  3. Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua .
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo, harus melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini masing-masing:
  1. Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
  2. Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
    • Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
    • Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
    • Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan
  3. Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk  menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan Kapa’
  4. Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan  To Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
  5. Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan damn melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaan ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan dulang dari Tana' Bulaan yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo sebagai berikut:
  1. Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.
  2. Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa sirih pinang.
  3. Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
  4. Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
  5. Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta Tana' Bulaan dengan susunan 9 (sembilan) dulang.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan Kapa’, yang jumlah Kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
  1. Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai Hukum Tana’ yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
  2. Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa (to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain dari pada dewan adat.
  3. Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang  tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak  sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
  4. Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
  5. Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
  6. Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan janda itu.
  7. Dan lain-lain

To Manurun dan To Bu’tu Ri Uai: Nenek Moyang To Manurunan

Roxana Waterson) Di Tana Toraja, ide To Manurun, mitos yang menceritakan seseorang yang turun dari langit ke puncak-puncak gunung dan menjadi para penguasa lokal, Toraja Tomanurun selalu dipasangkan dengan satu pasangan dengan sama hal-hal yang gaib, seorang wanita yang bangkit ke luar dari suatu kolam/sungai. Kesu mengklaim To Manurun Manurun Di Langi’ adalah nenek moyang yang paling penting, sementara di Tallu Lembangna, Tamboro Langi' (Toma’ Banua ditoke’, Toma’ Tondok dianginni) lebih penting. Bagaimanapun bangsawan-bangsawan dari kedua area ini telah mengklaim bahwa Tomanurun mereka adalah pusat pemerintahan. Mereka tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa To Manurun berasal dari bagian barat (Ullin).
Salah satu perbedaan  yang spesifik adalah tempat dimana pertama kali Tamboro Langi’ diturunkan. Menurut tradisi-tradisi bagian barat, ia turun di Ullin, suatu puncak di daerah Banga, dan membangun rumah di sana dengan istrinya, Sanda Bilik, yang muncul dari pertemuan sungai Sa'dan dan sungai Saluputti. Ullin juga dihubungkan dengan deata, yang dikatakan berkumpul ke sana tiap-tiap tahun setelah panenan.
Bangsawan di Tallu Lembangna, bagaimanapun, cenderung untuk mengaku Tamboro Langi’ tidak diturunkan di Ullin, tapi di Kandora. Beberapa versi mengatakan ia kemudian pindah ke Ullin, dan yang lain bahwa ia hanya di Kandora dan tidak pernah pergi ke barat sama sekali.
Tongkonan Layuk pada tiap area mempunyai kisah – kisah sendiri tentang para nenek moyang dan kejadian-kejadian hal-hal yang gaib. Contoh-contoh yang berikut dikumpulkan di daerah Saluputti, terutama Malimbong. Ullin membentuk suatu segi tiga dengan dua gunung yang lain mencapai puncak yang kelihatan dari Malimbong: Sado'ko' dan Messila. Di samping Tamboro Langi' dari Ullin, nenek moyang penting di silsilah-silsilah Saluputti adalah Gonggang Sado'ko', yang turun di Sado'ko' dan menikah dengan wanita yang muncul dari kolam yang bernama Marrin di Liku. Dalam sebuah cerita Gonggang diklaim sebagai manusia yang pertama di atas bumi di Toraja bagian barat, dan memiliki enam belas anak-anak, sebagian memiliki nama-nama dari dewata-dewata dalam versi Toraja. Alm. Mangesa mantan Kepala Desa Malimbong (1965-71), yang mengakui dirinya keturunan generasi yang ke sebelas dari Gonggang, menurutnya karna memelihara kekuatan supranaturalnya, sehingga Gonggang masih hidup pada waktu invasi Arung Palakka. Tetapi di dalam silsilah-silsilah dari beberapa orang di Ullin, ia bukan To Manurun, tetapi sebagai cucu laki-laki Tamboro Langi'. Gunung yang ketiga, Messila, juga dihubungkan dengan Tomanurun, Kila' Ta'pa ri Ba'tang. {Menurut silsilah mereka yang berasal dari Lion, Rorre dan Lemo, Makale Utara, Puang Kila’ Ta’pa Ri Batang menikah dengan Marring di Liku dan memiliki 4 orang anak masing-masing Sadodo’na’, Batotoi Langi’, Pulio dan Palandangan. Palandangan lalu menikah dengan Batan di Lomben melahirkan Arung (Pangala Tondok di Rorre), Para (Pangala Tondok di Lemo) dan Lembu’bu’ yang kemudian menikah dengan Patantan dan melahirkan Saarongre yang menjadi Pangala Tondok di Lion Tondok Iring.}
Hanya sedikit yang diketahui tentang Tomanurun ini, tetapi menurut Isaak Tandirerung, mantan Camat dari Ulusalu, ia turun agak belakangan dibanding Tamboro Langi'. Ia menikah dengan seorang wanita kolam dan membangun rumah di Messila (yang tidak lagi ada), dan keturunan-keturunannya kemudian mendirikan Tongkonan Pattan, Tongkonan Layuk di Ulusalu, dari mana Isaak berasal.
Di desa Malimbong pada waktu dari ambil alih Belanda, ada dua Tongkonan Layuk yang bersaing mana yang paling utama, Pasang dan Pokko', dekat Sawangan. Silsilah Pasang memulai dengan Gonggang Sado'ko', Pokko dengan nenek moyang yang lain yaitu Pa'doran. Keturunan-keturunan dua Tongkonan ini cenderung untuk memperbesar pentingnya nenek moyang mereka sendiri, selagi menertawakan kisah-kisah tentang yang lain. Pa'doran dikatakan dilahirkan dua generasi setelah Gonggang, tetapi juga memimpin pasukan Gonggang di dalam peperangan melawan terhadap Bone. Ia bukan to manurun, tetapi to mendeata, karena ia telah menerima kuasa-kuasa dari deata dalam mimpi. Ia bisa berjalan beberapa mil-mil di dalam suatu langkah dan mempunyai kekuatan supranatural. Jika ia berdiri di Sado'ko', ia bisa menjangkau Messila di dalam suatu langkah, dan dengan langkah ketiga berada di Ullin.
Beberapa cerita tentang Pa'doran dihubungkan dengan fitur lokal dari daerah sekitarnya. Segala hal yang ia katakan akan terjadi. Ketika ia berkata, "Kerbauku adalah besar", dengan segera menjadi mahabesar, dan ketika ia berkata, "Kerbauku akan membuat suatu gunung dengan tanduknya", kerbau mengombang-ambingkan kepalanya dan menanduk dua kerut yang besar dengan tanduknya. Bukit ini kemudian diberi nama disebut Buttu Susu, suatu daerah di Malimbong. Di dalam versi yang lain, tandukan kerbau itu menjadikan Buttu Susu, Bea dan Matande; galiannya membentuk gunung yang disebut Gattungan, dekat Buttu Susu. Pa'doran tidak pernah menikah. Ia benci untuk busuk pada kematian, dan sebagai gantinya ia menyuruh keluarganya untuk membuat suatu keranjang yang khusus untuk dia. Ia lalu memanjat ke dalamnya dan berubah menjadi batu. Keranjang ini masih disimpan di dalam tongkonan Pokko', dan hanya dapat dilihat jika ada upacara sesaji. Penduduk meyakini bahwa ketika satu gemetaran bumi dirasakan di sini, ini berarti bahwa Pa'doran sedang keluar dari keranjang untuk berjalan-jalan, lalu koin yang berderik terdengar di dalam rumah.
Satu lain kepada manurun di Malimbong dihubungkan dengan tongkonan pada Parinding di Sa'tandung.  Batotoilangi' (Muncul dari langit) menikahi seorang wanita yang bernama Mandalan i Limbong, yang muncul dari mata air alami, yang sampai sekarang masih digunakan sebagai mata air oleh penduduk desa di Parinding. Mereka mempunyai delapan anak. Suatu hari, Batotoilangi' diserang oleh bau dari pemangangan daging anjing, dan ia pun kembali ke langit, sedang istrinya kembali ke air. Banyak pamali dihubungkan dengan rumah, tidak hanya memakan daging anjing, tetapi juga tikus (tikus ladang dikonsumsi dibeberapa bagian di Toraja), keong-keong, atau daging dari pemakaman. Juga terlarang untuk meludah di lokasi rumah. Pasangan pendirian hal ini, menurut penghuni- rumah, hidupsekitar sebelas generasi yang lalu, pada waktu yang sama seperti  Gonggang Sado'ko'. Sebelum pergi, Batotoilangi' memberitahu orang-orang bahwa mereka akan tahu ia masih di sekitar ketika mereka mendengar guntur atau ketika hujan. Jika seekor ayam dikorbankan di sini, bahkan di musim kemarau, konon gerimis turun. Ketika pelangi, selalu muncul dengan salah satu ujungnya pada lokasi dari rumah yang asli, meregang diatas pohon banyan yang tumbuh di sampingnya. Jika keturunan-keturunan dari rumah melihat suatu pelangi setelah membuat sesaji, ini berarti bahwa Batotoilangi' dan deata sudah menerimanya. Di masa. lalu, tongkonan memiliki banyak budak berkait dengannya, yang semua tinggal di bukit dimana tongkonan itu berdiri.
Tidak susah untuk melihat bagaimana dongeng ini dan kisah-kisah, silsilah-silsilah dijadikan kekuatan politis dari tongkonan bangsawan, yang dilayani untuk mengangkat dan membenarkan status kebangsawanan mereka. kisah – kisah mistik lebih lanjut ditambahkan pada harta benda/pusaka-pusaka rumah ini (sampai para anggota generasi yang lebih muda menyerah kepada godaan untuk menjual sebagian dari barang – barang kepada penyalur-penyalur seni yang internasional). Apakah para pahlawan mereka adalah manusia nyata, atau apakah kisah-kisah itu diciptakan pertama dan nama-nama yang ditempelkan kemudian di dalam silsilah-silsilah, yang mustahil untuk ditebak. Seperti Pa'doran atau Batotoilangi', sudah sangat melokalisir reputasi-reputasi; yang lain seperti Tamboro Langi' atau Laki Padada, mempunyai suatu ketenaran yang menyebar luas dan dihubungkan dengan banyak tongkonan bersama-sama. Hubungan ini pada waktu tertentu dipertunjukkan dan diperbaharui di dalam upacara-upacara, seperti ketika pada Bulan Januari 1983, diatas 100 kelompok keturunan dari tongkonan yang terkenal pada Nonongan yang dikumpulkan untuk merayakan pembangunan rumah tongkonan. Tidak banyak Toraja dapat melacak koneksi-koneksi pada  rumah ini dan pendirinya, Manaek, tetapi maka kaleng keluarga-keluarga yang kerajaan dari Luwu', Goa dan Bone, semua mengutus wakil-wakilnya di upacara itu. Pihak Luwu' bahkan membawa seekor babi yang sangat besar. Melalui kehadirannya, mereka mengakui keturunan mereka dari Laki Padada, seperti juga hubungan mereka melalui perkawinan dengan orang golongan lain dengan kebangsawanan Toraja.

To Manurun = Nenek Moyang yang tidak diketahi asal usulnya sehingga selalu dikatakan berasal dari langit

TOPADA TINDO TO MISA' PANGIMPI


DAFTAR NAMA TO PADATINDO, TOMISA’ PANGIMPI
UNTULAK BUNTUNNA BONE
ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA
(Melawan Invasi Bone setelah mereka mengadakan Kombongan di Pata’padang, Sarira)

  1. Pong Kalua’ (Penaa Batu Laulung)    Randan Batu
  2. Sanda Kada (Rangga Lila)                Limbu
  3. Pong Songgo (Bandangan Matipa)    Limbu
  4. Karasiak            Madandan
  5. Lando Aak            Boto’
  6. Batara Langi’        Boto’
  7. Ambabunga’        Bombongan
  8. Pong Boro Tua        Maruang
  9. Tumbang Datu        Bokko
  10. Patobok            Tokesan
  11. Kondopatalo        Lampio
  12. Paliun            Batualu
  13. Pagonggang        Batualu
  14. Bongi            Batualu
  15. Ne’ Lello            Leatung
  16. Tomorere’            Gantaran
  17. Palondongan         Simbuang
  18. To Gandang        Sarapung
  19. Pagunturan        Bebo’
  20. Tikuali            Ba’tan
  21. To Bangkudu Tua        Malenong
  22. Takia’ Bassi        Angin-Angin
  23. Patabang Bunga’        Tadongkon
  24. Salle Karurung        Paniki
  25. Kattu            Buntao’
  26. Palinggi’             La’bo’
  27. Sa’bu’ Lompo        Bonoran
  28. Ne’ Pirade            Tonga
  29. Patasik / Pong Tasik    Pao        
  30. Ne’ Malo’             Tondon
  31. Poppata’            Nanggala
  32. Patora Langi’        Langda
  33. Ne’ Patana            Kanuruan
  34. Bannelangi’        Kadundung
  35. Tibaklangi’            Saloso
  36. Ne’ Kalelean        Rorre
  37. Banggai            Salu
  38. Songgi Patalo        Lemo
  39. Arring lan di Deata    Mandetek
  40. Lunte            Mariali
  41. Rere’            Lion
  42. Saarongre            Tondok Iring
  43. Baanlangi’            Lapandan
  44. Marimbun            Bungin
  45. Panggeso            Tiromanda
  46. Sando Pasiu’        Pasang
  47. Tolanda’            Santung
  48. Bangke Barani        Manggau
  49. Parondonan        Ariang
  50. Sundallak            Burake
  51. Panggalo            Lemo Pa’buaran
  52. Bara’padang        Gandang Batu
  53. Pong Arruan        Sillanan
  54. Pong Dian            Tinoring
  55. Tobo’            Tampo
  56. Pong Barani        Marinding
  57. Pong Turo            Baturondon
  58. Puang Balu        Tangti
  59. Kulu-kulu Langi’        Palipu’
  60. Darra Matua        Tengan
  61. Sarangnga’            Lemo Mengkendek
  62. Tanduk Pirri’        Ala’
  63. Pokkodo            Tagari
  64. Kundubulaan (Mendila)    Sa’dan
  65. Pangarungan        Tallunglipu
  66. Taruk Allo            Tallunglipu
  67. Tengkoasik            Barana’
  68. Ne’ Rose’            Sangbua’
  69. Lotong Tara        Bori’
  70. Allopaa            Kayurame
  71. Rongre Langi’        Riu
  72. Tangkedatu        Buntu Tondok
  73. Tolangi’            Pongsake
  74. Mendila Kila’        Rongkong
  75. Ne’ Darro            Makki’
  76. Ne’ Mese’            Baruppu’
  77. Sarungngu’            Pangala’
  78. Bongga            Pangala’
  79. Usuk Sangbamban    To’tallang
  80. Ambe’ Bando’        Awan
  81. Ledong            Bittuang
  82. Patikkan            Bambalu
  83. Gandanglangi’        Mamasa
  84. Ne’ Darre            Manipi
  85. Pong Rammang        Piongan
  86. Tandiri Lambun        Tapparan
  87. Batotoi Langi’        Malimbong
  88. Tandirerung        Ulusalu
  89. Pakumpang        Sangalla’/Buntao’
  90. Pong Manapa’        Se’seng
  91. Tokondo’            Buakayu
  92. Mangngi’            Rumandan Rano
  93. Mangape            Mappa’
  94. Pappang            Palesan
  95. Batara Bau            Bau
  96. Pong Bakkula’        Redak
  97. Tangdierong/Todierong    Baroko
  98. Bonggai Rano        Balepe’
  99. To Layuk             Simbuang
  100. Patittingan            Talion
  101. To Isangan            Tanete (Rano)
  102. Sodang            Ratte Buakayu
  103. Lapatau            Tombang Mappa’
  104. Torisomba            Garappa’ Mappa’
  105. Sege’            Bassean Endekan
  106. Mangopo            Sima Simbuang
  107. Ponipadang        Makkodo Simbuang
  108. BAlluku’            Batutandung Mamasa
  109. Massanga            Pana’ Mamasa
  110. Karrang Bulu        Mala’bo’ Mamasa
  111. Buranda            Tondon Kuang Batualu
  112. Sombolinggi’        To’Katapi Papa Tallang Batualu
  113. Agan            Buntu Doan Batualu
  114. Sanggalangi’         Pantilang
  115. Talibarani            Bokin
  116. Pong Sussang        Ke’pe’ Ranteballa
  117. Paressean            Karre
  118. Emba Bulaan        Sikapa Ranteballa
  119. Arrang Bulawanna        Lemo Ranteballa
  120. To Pajaoan            Kandeapi Ranteballa
  121. Puang Direngnge’        Tabang Ranteballa
  122. Bakokang            Lantio Ranteballa
  123. Pakabatunna        Sesean
  124. Ne’ Bulu Tedong        Pangala’
  125. Ne’ Tulla’            Kapala Pitu
  126. Padondan            Tikala
  127. Bangkele Kila’        Akung
  128. Galugu Dua        Balusu
  129. To Kalu            Endekan
  130. To Layuk            Baroko
  131. Mara’biang            Bebo’
  132. Pabidang            Buakayu
  133. Masuang            Tangsa
  134. Pauang            Malimbong