Selasa, 20 Maret 2012

lakipadada

Lakipadada, adalah bangsawan toraja yang jadi paranoid terhadap maut, sehingga berusaha mencari mustika tang mate supaya dia bisa hidup kekal, tanpa dihantui kematian (mirip cerita Nabi Sulaiman). Lakipadada didalam legenda itu diceritakan kehilangan orang2 tersayangnya, ibu, saudara perempuan, saudara laki-laki, bahkan pengawal dan hamba2nya satu demi satu meninggal dunia. Kemudian Lakipadada menjadi paranoid, berusaha menegasikan kemungkinan kematian juga datang padanya.

Pergilah dia mengembara dengan tedong bonga nya mencari mustika tang mate yang bisa mengekalkan kehidupannya, diantaranya mengarungi ke teluk bone dengan buaya sakti (yang barter service dengan imbalan tedong bonga), mencari Pulau Maniang, tempat yang dianggapnya dihuni oleh seorang kakek tua sakti berambut dan jenggot putih yang diceritakan memiliki mustika itu.


Karena kekurang sabarannya, Lakipadada gagal memenuhi persyaratan yang diajak si tua sakti; puasa makan minum dan tidur selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya gagal usahanya mendapatkan tang mate. Tapi dari sini Lakipadada mendapat hikmah yang menyadarkannya bahwa menghindari kematian sama halnya dengan menantang kuasa Tuhan. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan, walau kadang kejam kata Dessy Ratnasari. Lakipadada, kemudian mengembara lagi dengan menumpang bergelantungan di cakar burung Garuda yang membawanya ke negeri Gowa. Disana Lakipadada, yang sudah tercerahkan, menyebarkan hikmah kebajikan dan berhasil mendapat simpari Raja, mengobati dan membantu permaisuri raja melahirkan. Lakipadada diangkat menjadi
anak angkat dan Putra Mahkota.

Diakhir cerita diceritakan Lakipadada yang memperistri bangsawan Gowa, kemudian diangkat menjadi raja Gowa, penguasa baru yang bijak. Dia memiliki tiga orang anak, yang kemudian menjadi penerusnya dan mengembangkan kerajaan-kerajaan lain di jazirah sulawesi. Putra sulung, Patta La Merang menggantinya di tahta Gowa. Putra kedua,
Patta La Baritan ditugaskan ke Sangalla, Toraja dan menjadi raja disana. Putra bungsu, Patta La Bunga, menjadi raja di Luwu.

Akulturasi damai. Lakipadada yang berasal dari Toraja berdamai dengan tiga suku lain; belajar hikmah dari Bugis/Bajo (kakek sakti di pulau Maniang), menjadi raja di pusat budaya Makassar, dan mengirim anaknya menjadi Datu di Luwu. Akulturasi ini lah yang mengabadikan darah dan silsilahnya, juga cerita legenda yang mengantarkannya pada kita saat ini, mungkin inilah mustika tang mate yang dimaksudkan, keabadian melalui cerita/legenda.

Toraja


Berdasarkan karya N. Adriani, A. C.Kruyit, H. Van der ven, dan Antropolog-angtropolog, Linguis, serta Etnolog lainnya dari barat, Toraja dilokalisasi di Sulawesi bagian Tengah. Daerah pesisir Sulawesi Selatan dan tengah pada umumnya dihuni oleh orang bugis, ketika peneliti-peneliti Barat tiba, mereka mendengar dari orang bugis bahwa Penghuni pedalaman, dalam hal ini daerah pegunungan, adalah “Orang Toraja”. Mereka dinamakan To Ri-aja; To= Tau= Orang; Ri-aja= di (dari) atas; jadi, Toraja adalah Orang-orang dari atas yang bermukim di Pegunungan, orang-orang gunung. Penamaan demikian adalah tepat, tidak ada salahnya. Namun, dalam pemakaiannya nama itu mendapat konotasi negatif, semacam “Orang terbelakang”, “Primitif”. A.C.KRUYIT. menerapkan pembedaan lebih jauh, dengan membedakan (antara lain) Toraja Barat, Timur, dan Selatan. Dewasa ini, pembedaan ini tidak diterima lagi. Pengertian “Toraja” sudah di tolak, bnd. Priyanti Pakan, “Orang Toraja: Identifikasi, Klasifikasi, dan Lokasi”, Berita antropologi 9/32-33 (September-Desember 1977) 31-49. Berlawanan dengan konotasi negatif di atas, mereka yang disebut A.C.KRUYIT “Orang Toraja Selatan”, justru menerima penamaan itu. Bahkan menamakan diri “Toraja”, sekalipun baru Zendinglah dan kemudian Gereja Toraja yang memberi makna kepada Konsepsi Toraja itu. Kini “Toraja” adalah mereka yang dahulu disebut “Orang Toraja Selatan”, yaitu penghuni Kabupaten Tana Toraja, Massendrengpulu’ Luwu’, Polewali, Mamasa, dan mandar (Bnd. Priyanti Pakan, o.c.). Pesisir Timur dihuni oleh To Luwu (Orang Luwu’, penghuni Luwu’), yang secara Etnis dan Lingustis termasuk kelompok Toraja, tetapi mayoritas orang Luwu’ menganut agama Islam dan sudah sejak lama berada di bawah pengaruh Bugis dari Selatan. H.M. Sanusi Dg. Mattata dalam Bukunya Luwu’ Dalam Revolusi, (Makassar 1967), Halm. 23, menulis bahwa Bahasa Bugis dan Toraja merupakan Bahasa Komunikasi; diman-mana di Luwu’ bahasa Toraja bisa dipergunakan, sekalipun dengan aksen dan dialek yang berbeda-beda. Sebaliknya bahasa Bugis hanya di gunakan oleh kelompok-kelompok tertentu, terutama mereka yang asli Bugis. Orang Luwu’ (To Luwu), sudah sejak dahulu kala menyebut penghuni-penghuni pegunungan (Orang-orang Gunung) di sebelah barat “Toraja” (To Ri-aja), bnd. Priyanti Pakan, o.c. jadi, nama “Toraja” itu merupakan pengertian Geografis. Dewasa ini, orang Toraja di Makassar, bila mudik ke Toraja, mengatakan: “Kita berangkat ke atas”; dan bila mereka turun dari Toraja, mereka katakan : “Kami datang dari atas”.
Namun, untuk pemahaman lebih lanjut, ada tiga sudut pandang yang penting :

  1. Linguistis : Maraya atau Maraja, turun dari kata Raya atau Raja, yang berarti “Mulia”; to maraya atau to maraja berarti “Yang sangat mulia”; padananya dalam Bahasa Indonesia “Maharaja” (Raja Mulia, Raja di Raja); Pakaraya berarti : memuliakan, memuji.
  2. Histori : Disebelah barat Luwu’ dimana dataran Pantai yang sempit beralih menjadi daerah pegunungan, terdapa wilaya yang bernama Raja. Daerah ini terletak di “Basse Sangtempe”, yang pernah memainkan peran besar dalam sejarah Luwu’. Sanggalangi (Seorang Pahlawan) menolong Datu (Raja) Luwu’ dalam pertikaian dengan Bone, lalu sebagai tanda terima kasih, Datu Luwu’ dan Sanggalangi’ mengadakan perjanjian dengan nama “Basse Sangtempe’”. Wilaya ini sering pula diberi nama “Nasipi Batu Batoa”, karena iya terletak antara dua batu (kekuatan), yaitu Luwu’ dan Sangalla; Ma’ Tau Sangalla’, dan Ma’ Tana Luwu’, artinya : “Orangnya dari Sangalla dan Tanahnya adalah Luwu’”.
  3. Geografis : Di Basse Sangtempe’ (kini satu Kecamatan) terletak teritorium yang namanya Raja. Bisa saja orang Luwu’ telah menggunakan “Toraja” sebagai penamaan terhadap orang-orang yang datang dari raja sebagai satu daerah, tetapi dapat juga berarti: orang yang datang dari “atas”. Di Tana Toraja para penghuni dari Raja dengan sendirinya disebut To Raja; To (Tau) Lo’ mai (Lau’ Mai) Raja,  artinya Orang dari Raja yang ada di bagian Selatan. Disebelah Selatan Toraja, di Kabupaten Enrekang, ada Kecamatan yang bernama Anggeraja, artinya: “Sampai disini Raja, batas Raja”. 

Jumat, 02 Maret 2012

Polopadang

Topissan den tau disanga Polopadang torro dao Buntu Kesu’, dao Buntu Sarira. Ia te Polopadang siampu pa’lak jio to’ liku jong Rura. Mangnga tarru’ ade’ te Polopadang ke den omi bua kaise’na la matasak, dolo bang ta’de naboko tau. Den oi la matasak, masiang melambi’ na tiro ta’de omi ade’. Den sang bongi na male unngkampai pa’lakna. La morai untandai indanna tu unnala bang bua kaise’na. Ia tonna mabongimo tonna marassanmo Polopadang ungkampai bua kaise’na, tirambanmi ade’ belanna den baine ballo tassu’ jong mai to’ liku na iate baine male unnala kaise’na Polopadang. Simpolo nakamboroan ade’ Polopadang nakua, “Ooooo…iko bang pole’ umboko kaise’ku. Totemo, belanna mangka muboko tu kaise’ku, la mendadiko baijzjneku!”. Iate baine disanga Indo’ Deatanna. Mebalimi Indo’ Deatanna nakua, “Ko nabua’ rika ke inang akumo tu umboko kaise’mu. Bisana’ la mupadadi bainemu, pa la ma’basseko kumua tae’ mu ma’din mekabullung-bullung sia manglambe.” Na pekaioimi ade’ Polopadang tu bassena lako Indo’ Deatanna. Sibalimi ade’ Polopadang sola Indo’ Deatanna na dadi tu Paerunan. Ia tonna kapuamo tu Paerunan, umpaningoimi ade’ gasing bulawan, na marassan ma’piak kayu tu Polopadang. Ia duka te Indo’ Deatanna marassan ma’tannun. Naruami ade’ gasing tu buku taranna polopadang na ma’kada nakua, “ Pepayu…Buaya….narua gasingmu tu buku taraku Paerunan!!”. Narangngimi ade’ Indo’ Deatanna te kadanna Polopadang, mekabullung-bullung sia manglambe. Mangkamo nasalai tu bassena lako I
ndo’ Deatanna. Simpolo napatorro ade’ tannun tang mangkana te Indo’ Deatanna na alai tu Paerunan na male langngan langi’ umpotete tindok sarira. Menassanmi ade’ te Polopadang na tumangi’ belanna natampeanmo bainena sola anakna. La male nadaka’ sia naala tu anakna sule.
Malemi ade’ ma’lingka umpatu randan tasik na nenne’ bang tumangi’ tu’tu’ lalan sia tu’tu’ allo. Na appa’mi ade’ tedong bulan te Polopadang na ma’kada nakua, “Mu tumangi’ ora Polopadang?”. Nakuami ade’ Polopadang mebali, “ La malena’ undaka’ anakku ,Paerunan, nabawa baineku, Indo’ Deatanna, langngan langi’. La umpatuna’ randan tasik dolo.” Nakuami tedong bulan mebali, “Messakeko na aku male umbaako lako randan tasik. Apa la si basseki’ dolo kumua tae’ nama’din tu bati’mu ungkande tedong bulan.” Napekaioimi ade’ Polopadang tu bassena lako tedong bulan. Nasolanmi ade’ sae lako randan tasik.
Tonna rampomo dio randan tasik to, la lambanmi ade’ Polopadang lako randan langi’ apako dio tingona tiampa’ tu tasik kalua’. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Pakalan rampomi tu buaya bulan na ma’kada lako Polopadang nakua, “ Na’pari mu tumangi’ ora Polopadang??”. Nakuami Polopadang mebali, “La malena’ undaka’ anakku ,Paerunan, nabawa baineku, Indo’ Deatanna, langngan langi’ “. Nakuami ade’ buaya bulan, “Kappamoko Polopadang na aku ussolangko lamban tasik. Apako la sibasseki’, kumua tae’ nama’din tu to Toraya umpakario-rio buaya, sia tae’ duka nama’din tu buaya umpakario-rio to Toraya”. Napekaioimi ade’ Polopadang tu bassena lako buaya bulan. Messakemi ade’ Polopadang do boko’na buaya bulan namale umpalambanni lako randan langi’. Rampo ade’ dio randan langi’, la kendekmi langngan langi’ te Polopadang. Apako tae’ na bisa. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang tu’turan allo. Rampomi Mataallo, nama’kada lako Polopadang nakua, “Mu tumangi’ ora Polopadang?”. Nakuami Polopadang mebali, ““ La malena’ undaka’ anakku ,Paerunan, nabawa baineku, Indo’ Deatanna, langngan langi’. Bisa raka musolanpa’ male langngan langi’?”. Nakuami Mataallo mebali, “ La mu atta oraka saba’ malassuna’. Kampaimi tu bulan!”. Nakampaimi ade’ Polopadang tu Bulan. Nakuami Bulan, “Na’pari mu tumangi’ ora Polopadang?”. Nakuami Polopadsang mebali, “ La malena’ undaka’ anakku ,Paerunan, nabawa baineku, Indo’ Deatanna, langngan langi’. Bisa raka musolanpa’ male langngan langi’ ? “. Nakuami Bulan mebali, “La mu atta oraka na bosina’!”. Nakuami Polopadang mebali, “ Lo’na bangmo mu bosi assalan rampo dukana’ langngan langi’”. Nakuami Bulan, “Iamo ke. Pa ianna ku bosi to, dedekki tu boko’ku.” Malemi ade’ nasolan Bulan te Polopadang langngan langi’.
Rampomi ade’ te Polopadang langngan langi’. Ia tonna rampo dao, natiromi ade’ buda to baine male sipassan lampa. Mekutanami ade’ nakua, “Mi buda ora situru’-turu’ male meuai?”. Nakuami ade’ te to baine mebali, “ Inde dikka’ to lino tae’ bang natandai battuan. Indo’ Deatanna mane rampo yongi’ makaroen diong mai lino sola anakna, Paerunan, na la dipeuaian napake Paerunan mendio’.” Malemi ade’ te Polopadang undi unturu’ te to baine meuai lako banuanna Indo’ Deatanna. Ia tonna mane mambela, natiromi ade’ Indo’ Deatanna kumua rampo tu Polopadang la unnala Paerunan. Na bawami ade’ Indo’ Deatanna tu Paerunan tama banua na salli’ manda’I tu ba’ba nakuanni lako tau na sakkalanganni tu Polopadang ke la unnalai Paerunan.
Tonna rampomo ade’ tu Polopadang, mekutanami tau nakua, “Apara patummu sae Polopadang?”. Nakuami ade’ Polopadang, “La rampona’ unnala anakku , Paerunan”. Nakuami tau mebali, “ Ia ke inang manassako Deata, maleko ullemba uai mupatama buria’.” Malemi ade’ te Polopadang me uai umpake buria’. Napatama oi tu uai, tang torro tu uai lan buria’. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Rampomi masapi na ma’kada lako Polopadang, “Mu tumangi’ ora Polopadang?”. Nakuami ade’ Polopadang mebali, “La rampona’ unnala anakku, Paerunan, pa iapi kumane bisa unnalai ke bisana’ ullembana’ uai umpake te buria’.” Nakuami masapi, “ Kappamoko Polopadang na aku untunduiko”. Ia ade’ te masapi unnelong-nelong lan buria’ na torro tu karuru’na ullepe’ kalo’tok buria’. Napeponnoimi uai tama buria’na Polopadang na lembai lako banua. Mangngami ade’ tau na ma’kada “Inang Deata tongan iate Polopadang.” Nakuami ade’ Polopadang, “Indemo tu uai lan buria’. Umba mira tu anakku?”. Nakuami tau, “Ia pi mu ma’din unnala anakmu ke mulellengpi tu kayu barana’ kapua sambali’.” Nakuami Polopadang, “Umbara tu wase ku lellengngi?”. Nakuami tau umpebali, “ Ia ke inang manassako Deata, la mulelleng tu kayu barana’ umpake te piso’-piso’”. Malemi ade’ te Polopadang la ullelleng barana’ pua umpake piso’-piso’ tang nabela. Tang tikulli’ tu barana’ nakande pisonna. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Pakalan rampo omi tabuan, namekutana lako Polopadang nakua, “Matumbari mu tumangi’ ora Polopadang?”. Nakuami Polopadang mebali, “La rampona’ unnala anakku Paerunan, apa iapi kuma’din unnalai ke bisana’ ullellengngi te barana’ pua.” Nakuami tabuan, “Kappamoko, na kami ussongkanni. Natambaimi ade’ tabuan tu solana buda nagoroi’ tama tu kayu barana’ sae lako songkana. Nakuami tau, “Inang Deata tongan iate Polopadang”. Sulemi ade’ tu polopadang lako banua na ma’kada, “Songkamo tu barana’ pua sambali’. Umba mira tu anakku”. Nakuami tau mebali, “ Inang tae’pa mu ma’din unnala anakmu ke tae’ mupurai tu bite’ sanglombok sambali’.” Malemi ade’ te Polopadang ungkande bite’ sang lombok, apako mane misa’ ade’ nakande na tang naattamo makattik. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Pakalan rampomi tu bai lampung. Mekutanami lako Polopadang nakua, “Matumbari mu tumangi’ ora Polopadang?”. Nakuami Polopadang mebali, “Rampona’ unnala anakku Paerunan, apa iapi kuma’din unnalai ke kupurai te bite’ sang lombok.” Nakuami bai lampung mebali, “Kappamoko na kami umpepurai.” Natambai nasangmi ade’ bai lampung tu solana na pepurai tu bite’ sang lombok. Ia ade’ tonna tiroi tau kumua pura tonganmo tu bite’ sang lombok, nakuami ade’ tau, “Inang Deata siami ia te Polopadang”. Sulemi ade’ Polopadang lako banua na ma’kada, “Puramo tu bite’ sanglombok sambali’. Umba mira tu anakku?”. Nakuami tau, “Taepa muma’din unnala anakmu ke tae’ mu pasirampunni sule te bua ba’tan disamboran pitung baka!”. Nasamboranmi ade’ tau tu bua ba’tan pitung baka. Na rampunmi ade’ sule Polopadang tu bua ba’tan apako tu’turan allo narampun, moi sangkatti tae duka nasirampun. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Pakalan rampo omi tu dena’. Mekutanami ade’ lako Polopadang nakua, “Matumbari mu tumangi’ ora Polopadang?”. Nakuami Polopadang mebali, ““Rampona’ unnala anakku Paerunan, apa iapi kuma’din unnalai ke ku pasirampunni sule te bua ba’tan pitung baka.” Nakuami dena’ mebali, “Kappamoko Polopadang na kami untunduiko.” Nakuami Polopadang, “Pa da’mu bokoi le. Tang ganna’ dako’ pitung baka sule ke den miboko”. Rampo nasangmi ade’ te dena’ umpasi rampunni te bua ba’tan. Purato, natiro Polopadang kumua tang ganna’ pitung baka sirampun sule te bua ba’tan. Nakuami lako dena’, “Tang ganna’ pitung baka te bua ba’tan. Den miboko le?” Nakuami dena’ mebali, “Iake den len kikande sia kiboko, ki puntian leko’-leko’ mora, ki tamba neko-nekoan”. Nato’do’mi ade’ Polopadang tu sokkongna te mai dena’ na tassu’ nasang tu bua ba’tan lammai tambukna. Puntian leko’-leko’mi te dena’. Iamo to na iatu tingkulanna te dena’ tae’ na lan tambukna pa dao sokkongna. Ponnomi pitung baka sule te bua ba’tan, nakuami tau, “Inang Deata tongan ia te Polopadang”. Sulemi ade’ Polopadang umbawa bua ba’tan pitung baka, na ma’kada nakua, “Mangkamo ku rampun sule te bua ba’tan, benmo’ sule tu anakku!”. Nakuami tau, “Inang tae’pa muma’din unnala anakmu ke tae’ mu parampo kalenai tu uai lan te tarampak”. Di benmi ade’ pekali tu Polopadang la umpasae uai lan tarampak. Ba’tu umba sia ade’ nakuanni undaka’ mata uai te Polopadang, tae’ duka na appai’ tu mata uai. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Pakalan rampo omi tu bungkang na mekutana lako Polopadang nakua, “Matumbara mu tumangi ora Polopadang?” Nakuami Polopadang mebali,”La rampona’ unnala anakku Paerunan, apa iapi kuma’din unnalai ke kuparampo kalenai tu uai inde tarampak.” Nakuami bungkang mebali, “ Kappamoko na aku umparampoanko uai inde te tarampak. Iake denni dako padang tibebok, simpolo lantai’ pekali rokko.” Malemi ade’ te bungkang langngan buntu malangka’ tu den uainna nabo’bokki rokko tarampak. Ia ade’ tonna denmo padang tibebok, simpolo nalanta’ Polopadang rokko tu pekalinna na titarrak jong mai tu uai. Ia duka te pekali urrua boko’na bungkang, iamo to na den lalan pekali dio boko’na bungkang. Tonna titarrakmo tu uia, nakuami ade’ tau, “Inang Deata tongan te Polopadang”. Rampomi ade’ Polopadang nama’kada lako tau nakua, “Mangkamo kupasae to uai inde tarampak. Umbamira tu Paerunan?”. Nakuami tau, “Iapi muma’din unnala anakmu ke male kalenako unnalai tama banua.” Malemi ade’ te Polopadang undaka’ ba’ba banua apako tae’ naappa’i. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Pakalan rampomi tu balao na mekutana, “Matumbari mu tumangi’ ora Polopadang?” Nakuami Polopadang mebali, “,”La rampona’ unnala anakku Paerunan, apa iapi kuma’din unnalai ke male kalena ku ala tama banua pa tae’ kutandai umba nanai tu ba’bana te banua.” Nakuami ade’ balao mebali, “Kappammi, na aku bungkaran komi ba’ba”. Malemi ade’ nakasissin balao tu salli’ ba’ba na tibungka’ tu ba’ba banua. Malemi ade’ te Polopadang tama banua pa tang natiro tu Paerunan belanna malillin parrak. Sisantakmo ade’ undakai’ anakna pa tae’pa na appai’. Tumangi’ omi ade’ te Polopadang. Pakalan rampo omi tu silli-silli mekutana, “Matumbari mu tumangi’ ora Polopadang?”. Mebalimi Polopadang nakua, “La undaka’ na’ anakku Paerunan apako tang kutiro belanna malillin parrak lako.” Nakuami silli-silli, “Kappamoko Polopadang ku tunduiko undaka’ Paerunan. Iake tae’mo kutigega’ sia ma’kappidi-pidimo’ masai, ko Paerunanmo to kunanai ta’pa.” Malemi ade’ te silli-silli sumalongngi banua. Ia tonna rampomo dio leko’ dapo’, torromi ade’ te silli-silli tang tigega’ sia ma’kappidi-pidi masai belanna ta’pamo dio Paerunan. Simpolo ma’dondo ade’ te Polopadang unnala Paerunan na tassu’ lammai banua. Maramba dukami ade’ tu mintu’ tau na ma’kada kumua “Inang Deata tongan ia tu Polopadang!!!.” Mangkato, nabawami ade’ sule Polopadang tu Paerunan rokko lino, sule rokko Buntu Kesu’.
Kosakata:
  • Dalam mitos orang Toraja, Indo’ Deatanna disebut: to bu’turi uai, to kombongri bura-bura. Artinya orang yang muncul dari dalam air.
  • Buah Kaise’ : sejenis buah yang menyerupai jambu.
  • Mekabullung-bullung/ manglambe: mengucapkan kata-kata pamali seperti; Pepayu, Buaya, dll termasuk “Ma’kadoro”.
  • Bulan Bosi: Bulan Purnama namun warnanya agak kecoklatan. Muncul sehari setelah bulan purnama sempurna.
  • Karuru’ Masapi: seperti selaput lendir pada permukaan ikan masapi/moa.
  • Buah Ba’tan: ukurannya sangat kecil daripada bulir padi. Bentuknya mirip biji-bijian yang biasa ditabur sebagai penghias dan pelengkap Deppa Tori’ atau onde-onde.
  • Pontean leko’-leko’, tamba neko-nekoan: tembolok yang berada di atas punggung (khusus untuk burung pipit

Catatan:
  • Buntu Kesu’ berada di sekitar Buntu Sarira, terbentang dari daerah La’bo’ sampai ke Randan Batu dan sekitarnya.
  • Saat pergi ke langit, Indo’ Deatanna meninggalkan tenunannya. Dan sampai sekarang katanya tenunan itu masih disimpan di Nonongan dan disebut “Pa’tannun Tang Mangka”.
  • Sampai sekarang, orang Toraja masih mengingat janjinya terhadap Tedong Bulan sehingga mereka tidak berani menyembelih apalagi memakan daging Tedong Bulan.
  • Sampai sekarang, belum pernah ditemukan adanya Buaya di Toraja karena telah terikat janji dengan Polopadang. (Kecuali “Buaya Darat”)
  • Zaman purbakala dulu, saat Bosi Bulan serentak orang Toraja menumbuk-numbuk lesung, seperti saat Polopadang menumbuk-numbuk belakang Bulan.
  • Jika kita memperhatikan tembolok burung pipit/dena’, maka letak temboloknya berada di atas punggung bukan dibagian dada seperti pada aves/unggas pada umumnya. Akan sangat jelas jika diperhatikan pada bayi burung pipit. Letak tembolok yang berada di atas punggung inilah yang disebut “Pontean leko’-leko’, tamba neko-nekoan”.
  • Coba perhatikan belakang kepiting. Kita akan menemukan corak seperti bekas luka yang berbentuk goresan. Katanya itu adalah bekas luka dari linggisnya Polopadang.

Pesan Moral:
  • Jangan pernah mencuri jika Anda tak mau mendapat masalah.
  • Harus menepati setiap janji yang diucapkan.
  • Jangan pernah mengucapkan kata-kata kotor atau kata-kata yang berbau pamali.
  • Kita perlu belajar pada sikap Polopadang saat menghadapi suatu pekerjaan. Saat menghadapi suatu pekerjaan yang kelihatannya sangat rumit dan bahkan mustahil, jangan pernah takut untuk mencoba. Asal berharap pada Tuhan, niscaya pekerjaan itu bisa selesai, karena tak ada yang mustahil bagi Tuhan.
  • Relalah berkorban untuk orang-orang yang Anda cintai.
  • Saat kita menghadapi masalah, tangisan bukanlah suatu solusi pemecahan masalah. Berusahalah dan biarkanlah Tuhan membuka jalan untuk setiap solusi dari masalah kita.
  • Sayangilah setiap ciptaan Tuhan, binatang, hewan, terlebih sesama manusia. Dari hal-hal terkecil saja, Tuhan sudah bisa menjadikannya saluran berkat bagi kita.

Dosa Versi Aluk To Dolo (Hancurnya Eran Di Langi')

Passomba Tedong Versi Makale- Tallu Lembangna berbicara mengenai Pelanggaran Londong dirura, yang dapat disebut “Dosa Asal” Versi Aluk To Dolo (PTM-TL, 606-658). Tentang kisah Londong dirura terdapat berbagai versi, walaupun pada umumnya intinya di mana-mana sama. Mahluk Purwa Mula adalah mereka yang di turunkan ke bumi oleh Puang Matua, Sang Pencita, melalui sebuah tangga (Eran di Langi’) sambil membekalinya dengan segalah aturan dan Pemali agama (Sukaran Aluk sola Pemali) pada mulanya segalanya baik adanya. Manusia dan makhluk-makhluk lainnya berkembang dan hidup sejahtera dalam harmoni yang sempurna. Hubungan manusia dengan Puang Matua sangat dekat. Manusia dengan mudahnya naik turun Eran di langi’ untuk berkunsultasi dengan Puang Matua. Namun lama-kelamaan manusia mulai takabur. Mereka mulai mengabaikan kewajiban-kewajiban agama dalam hidup sehari-hari dan melanggal pemali-pemali. Muncullah seorang hartawan, namanya “Londong Dirura” tinggal di Rura dekat Bamba Puang, sebelah utara Enrekang) bertegar tengkuk mengawinkan anak kandungnya sendiru (Inses); terdapat berbagai versi tentang jumlah anak, ada yang mengatakan hanya sepasang (satu putra dan satu putri), ada yang dua pasang, dua putra, dua putri, ada pula yang mengatakan empat putra, empat putri. Adapun motif perkawinan inses itu tampaknya adalah agar harta kekayaan tetap tinggal dalam keluarga sendiri tetapi perbuatan ini tidak dapat ditolerir oleh Puang Matua. Dalam amarah-Nya ia meruntuhkan Eran di Langi’. Dan sebagian dari mereka yang ikut dalam pesta nikah itu tewas, ada yang menjadi batu, ada pula yang tenggelam ke dalam celah yang dalam. Sedangkan desa Rura tertutup dengan air.
Demikianlah dalam kisah Londong di Rura kira menemukan tema religius umum menyangkut dosa. Dosa menyebabkab putusnya hubungan erat antara manusia dengan Tuhan, yang disini di lambangkan dengan runtuhnya Eran di Langi’.  Dosa juga mengakibatkan datangnya maut ke dalam dunia. Tetapi kisah Londong di Rura masih menambahkan dan menekankan unsur ketiga yaitu hilangnya harmoni asli dalam kosmos. Versi Londong di Rura dari Lempo diakhiri dengan kata-kata berikut : Tontong dipangadaran lako tarukna kumua, apa iatu mai napogau’ to diponene’ dolona, iamo napomate. Dadi tang ma’din dipogau’, belanna lanasanggangki, lanatumang burana padang, na tae’ apa dipotuo. Mangka disa’bii, dadi tasik lo’ Rura (Selalu dijadikan pengajaran kepada keturunannya bahwa, apa yang telah diperbuat oleh nenek moyangnya dahulu kala, itulah yang mengakibatkan mereka mati. Karena itu tidak boleh kita perbuat, sebab hal itu akan menghancurkan kita, itu akan merusak keseuburan tanah, sehingga kita kehilangan sumber kehidupa, kita telah menyaksikan, di sana di Rura telah jadi Danau). Sebuah versi lain menegaskab bahwa Tanaman padi tak lagi tumbuh sebagaimana mestinya dan tidak menghasilkan buah yang di harapkan. Wabah menyerang ternak sehingga tidak lagi dapat berkembang biak, dan penyakit mendera manusia.