Rabu, 28 Desember 2011

Kisah Cinta Sehidup Semati Di Toraja

Lebonna dikenal sebagai gadis paling cantik di desanya. Bahkan, mungkin di daerah Lepongan Bulan alias Toraja. Dia memiliki kulit putih. Juga rambut, indah, panjang, hitam dan hidung yang menonjol. Wajahnya seperti boneka dan badannya kurus. Hampir sempurna sebagai seorang wanita secara fisik. Nah, dalam perjalanan hidupnya, ia menjadi kejang laki-laki. Namun, Lebonna akhirnya jatuh cinta dengan Paerengan Massudilalong, seorang pria yang juga dikenal sebagai seorang pria tampan pemberani dan kuat. Dalam hubungan cinta mereka, mereka bertunangan dengan memiliki janji, bahwa mereka telah bersama-sama dalam kehidupan dan kematian. Tidak hanya itu, ketika mereka meninggal nanti, mereka harus dikuburkan dalam sebuah makam yang sama.
Seiring waktu, hubungan mereka lebih intim. Banyak orang iri pada Paerengan karena Dia telah Lebonna. Di sisi lain, banyak wanita yang cemburu pada Lebonna, karena ia telah Paerengan, pemuda, satu tampan dan berani.
Namun, nasib akan. Tiba-tiba berita itu datang dan berkata bahwa desa mereka ingin melakukan invasi dengan desa lainnya. Paerengan (julukan Massudilalong’s) yang dikenal sebagai prajurit, diminta untuk memimpin pasukan. Mereka pergi berperang, dan di Toraja yang disebut “mangrari”. Sementara Lebonna tinggal di rumahnya untuk menunggu, ia menenun kain untuk menghilangkan kebosanan menunggu kekasihnya.
Selama pertempuran, salah satu orang Paerengan diam-diam melarikan diri dari medan perang. Dia kembali ke desa. tujuan-Nya untuk memenangkan hati Lebonna’s. Dia mengarang cerita bahwa Paerengan terbaring mati di medan perang. Ia berbagi berita Lebonna berbohong dengan berpura-pura sedih. Lebonna terkejut dan tidak menerima kematian kekasihnya. Dia bahkan menutup diri beberapa hari dan tidak mau makan. Dia menangis sepanjang hari.
Kabar dari orang Paerengan yang melarikan diri dari medan perang, juga tidak berhasil. Alasannya adalah Lebonna tidak terpengaruh bahkan sedikit. Cintanya hanya untuk Paerengan. Siang dan malam, ia teringat janji tentang kesepakatan dengan Paerengan. Singkatnya, Lebonna pilih cara pintas. Dia tidak ingin mengkhianati cinta Paerengan. Akhirnya, ia lakukan janjinya kepada kekasihnya, bersama-sama dalam hidup dan mati. Jalan ini, ia gantung diri dengan menggunakan tali. Lebonna berpikir tidak ada gunanya hidup. Itu karena dia pikir Paerengan telah tewas di medan perang. Sementara mereka telah terlibat untuk selamanya.
Setelah meninggal karena gantung diri dan membuktikan cintanya setia, Lebonna mayat itu dikuburkan dalam sebuah gua batu, tepatnya di Desa Salu Barana, desa Bua Kayu.
Setelah upacara pemakaman Lebonna itu, muncul keajaiban. Masyarakat di Tana Toraja percaya, ketika tubuh dimasukkan ke dalam gua batu Lebonna, tiba-tiba gua itu ditutup. Namun, rambut panjang Lebonna masih tergantung di luar mulut gua. Pada waktu itu, Lebonna tidak sepenuhnya ingin masuk kubur tanpa Paerengan, kekasih yang telah mengikat janji bersama-sama ke dalam hidup dan mati. Lebonna rambut hitam dan berkilau menghilang setelah danau bawah makamnya kering.
Lalu, bagaimana dengan Paerengan? Orang yang berani pulang dari pertempuran dengan kabar baik, kemenangan. Ketika ia tiba, ia pergi ke rumah Lebonna, kekasihnya yang didambakan. Yang membuat Paerengan kesal. Lebonna, gadis yang ia cintai telah pergi untuk selamanya. Setelah mendengar cerita tentang Lebonna menggantung diri dan membunuh, hidup Paerengan semakin tidak menentu. Dia dikenal sebagai seorang pejuang sejati dan sangat dihormati, tapi sekarang hidup dalam kondisi tertutup.
Setiap hari ia tampak sedih. Dia juga memilih untuk hidup sendiri. Kekuatan cinta bisa mengubah segalanya. Cinta juga bisa membuat segalanya mungkin untuk semua orang. Di sisi lain, tanggung jawabnya sebagai komandan perang, tidak mudah hanya ditinggalkan. Dia harus menjadi pemimpin tentara.
Dilema. Mungkin itu ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Paerengan setelah meninggalkan pacarnya, Lebonna. Dia harus memilih, menepati janjinya bersama-sama dalam hidup dan mati dengan Lebonna atau masih hidup untuk mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh. Paerengan adalah dilema
Hari-hari berlalu. Kebetulan, Paerengan memiliki pembantu yang sangat dekat dengannya. Pembantu yang juga menjadi tangan kanannya. Dia bernama Dodeng. Beberapa orang dari Tana Toraja menyukai ballo atau anggur (jus dari pohon kelapa). Sementara itu, Dodeng juga memiliki pohon kelapa di sekitar kuburan Lebonna’s.
Suatu hari, Dodeng sudah terlambat untuk mengambil anggur. Secara tradisional, anggur diambil pada pagi atau sore hari. Tapi kemudian, Dodeng datang setelah matahari terbenam. Saat mengambil sebuah arak, Dodeng tiba-tiba mendengar suara yang akrab. Suara itu akrab sebelumnya, ketika Lebonna masih hidup. Dodeng bisa mendengar jeritan. Suara memohon tujuan pesan ke Paerengan Massudilalong, orang yang telah berjanji wth Lebonna bersama dalam hidup dan mati. Bahkan, kuburan Lebonna juga di tempat yang sama dengan tanah Dodeng’s.
Pesan sekarang dikenal sebagai judul lagu Batingna Lebonna, pesan (lyric) adalah:
Dodeng ma’rambi ma’dedek, Dodeng ma’patuang tuak
pededekmu rampanampi, anna pi pepamaru’mu
perangina’mati Ammu, Ammu tanding talinga’na
parampoanpa ‘kadangku, masemaseku pepasan
Lako untuk Massudilalong, Sangkalamma’ku muane …
Mukua duka lasangmateki, e.. Jadi ‘e …
Paerengan, oh rendengku ..
Dolo Angku Angku mate .. Angku ma’pa Riu Rokko
Tae ‘siala na mate, la sisarakna sunga’na, bo’bona kandean Lebon
Rimbakanpo te bolo’na
Ulli Ulli ‘sola duka, borro sito’doan duka, untuk’ Riu ponno lalanna,
lendu tarru ” pasuleanna
Ini berarti: Dodeng yang ingin mengambil anggur,
menghentikan aktivitas Anda, silakan
Jika Anda mendengarkan aku di sana, mendengarkan dengan hati-hati
Kirim pesan saya, saya merasa buruk
untuk Massudilalong kekasihku
Kau bilang bersama-sama dalam kehidupan dan kematian
Paerengan, oh saya mencintai
Jika aku mati sebelum Anda,
Kami tidak meninggal pada saat yang sama, mengapa Anda masih hidup
Tapi, itu semua hanya kebohongan, perjalanan hubungan kami sangat panjang
Ini jauh mengambil langkah …
Dodeng tidak mampu melakukan apa-apa. Dia terpaku. Ketika ia menyadari bahwa, dia tiba-tiba melarikan diri. Dia tidak punya waktu untuk mengambil again.After anggur ia tiba di rumah Paerengan, ia memiliki keringat dingin. Bahkan, ia jatuh sakit. Bagaimana Paerengan setelah mendengar pesan Lebonna dari Dodeng?
Lebonna pesan untuk Paerengan Massudilalong tidak segera disampaikan. Dodeng masih tidak percaya apa yang didengarnya sebelumnya. Dia khawatir, suara hanya bayangkan. Memang, karena insiden itu, Dodeng jatuh sakit. Ketika sehat, Dodeng mencoba lagi untuk mengambil ballo ‘atau anggur (minuman ringan yang berasal dari pohon kelapa). Pada saat itu, ia satu kegiatan sebelum matahari terbenam. Ini berarti bahwa Dodeng datang lebih awal.
Tidak seperti pertama kali ia mendengarkan pesan dari Lebonna. Pada saat itu, ia datang setelah matahari terbenam. Namun, Dodeng kejutan karena dia mendengar lagi suara. Meskipun, pada saat itu, tidak terlalu terlambat. Mendengar suara sedih lagi, Dodeng tiba-tiba melarikan diri. Dia kembali ke rumahnya tanpa anggur. Dodeng sikap itu berubah setelah insiden itu, dan itu dibuat Paerengan penasaran. Dia kemudian meminta Dodeng untuk berbicara tentang apa yang terjadi.
Karena setiap hari, suara yang selalu didengar oleh Dodeng, sampai akhirnya ia tidak tahan dan Dodeng memberikan pesan ke Paerengan. Tidak yakin tentang pesan, Paerengan ingin membuktikannya. Keesokan harinya, tepat saat matahari terbenam, Paerengan bergabung Dodeng ke pohon kelapa, tidak jauh dari makam Lebonna. Ketika Dodeng sampai pohon kelapa, suara itu terdengar lagi. Paerengan bersembunyi dengan tenang, mendengarkan suara. Setelah mendengar pesan tersebut secara langsung, Paerengan pulang. Tiba di rumahnya, ia menutup pintu kamar itu. Dia trauma karena janji setia bahwa ia setuju dengan Lebonna, gadis yang dicintainya begitu banyak.
Tidak menunggu, Paerengan meminta agar semua prajurit berkumpul. Para prajurit diperintahkan untuk membawa tombak. Paerengan alasan yang digunakan pada waktu itu, dan cukup mengatakan kepada masyarakat untuk menghindari kecurigaan. Terutama dengan penutup partai: “merok”, yang merupakan pihak yang membunuh kerbau dengan tombak. Salah satu tradisi Toraja’s. Keesokan harinya, semua prajurit berkumpul di lapangan terbuka. keluarga Semua Paerengan itu juga hadir. Pada saat itu, kerbau sudah disiapkan. Para prajurit juga mengambil tombak mereka. Juga dengan alasan “merok”, Paerengan kemudian meminta agar semua pasukan mengemudi tombak dengan mata tombak posisi menghadap langit. Paerengan juga melakukan hal yang sama.
Ketika semua prajurit dan warga berkumpul, diam-diam Paerengan sampai ke atap paviliun yang sudah ada sebelumnya. Publik mengira ia ingin membuat pidato. Tapi, ternyata, dia hanya melompat tepat di atas ratusan tombak yang telah mempelopori terjebak.
Paerengan tewas di ujung tombak tragis. Dia janjinya. Pihak merok ‘adalah berubah menjadi pesta pemakaman. Setelah Paerengan bunuh diri untuk membuktikan janjinya, keajaiban masih terjadi. Sebagai Paerengan mayat dikuburkan di tempat lain, mayat tiba-tiba muncul di rumahnya. Itu terjadi tiga kali.
Akhirnya, Dodeng kepada publik apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mayat Paerengan dimasukkan dalam kubur Lebonna itu, semangat mereka berdua akhirnya bisa tenang.

Sejarah Awal Mula Belanda Saat Memasuki Tanah Toraja


Sejarah Awal Mula Belanda Saat Memasuki Tanah TorajaAgama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan Kebudayaan”.
Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.
Dalam hal ini bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis. Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:
a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: “Itu tidak sesuai dengan firman Tuhan”; “Inilah kehendak Yesus”. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ”Menurut orang tua….”. (Maksudnya nenek moyang), “Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.. Dengan ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : “Ah, kita kan sudah Kristen”.
Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk. Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.
b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang awam (to buda).
Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.

ma' nene kecamatan baruppu

Tana Toraja: Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pertengahan Agustus silam. Namun, kabut tersebut perlahan mulai tersibak dinginnya angin pagi. Hari ini, kesibukan luar biasa terjadi pada setiap penghuni warga Baruppu. Mereka tengah menggelar sebuah ritual di tempat awal mula sejarah dan misteri anak manusia yang mendiami Kecamatan Baruppu. Ritual yang selalu digelar seluruh warga Baruppu untuk melaksanakan amanah leluhur. Ma`nene, sebuah tradisi mengenang para leluhur, saudara, dan handai taulan lainnya yang sudah meninggal dunia.

Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu, kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang hingga menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek pun melanjutkan perburuannya.

Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya berburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut ikut membantu menggiring binatang yang diburunya.

Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, seperti yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek.

Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kimpoi lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kimpoi lagi.

Meski warga Baruppu termasuk suku Toraja. Tapi, ritual Ma`nene yang dilakukan setiap tahun sekali ini adalah satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa. Penduduk Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.

Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kimpoi dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.

Kali ini, keluarga besar Tumonglo melakukan ritual Ma`nene, seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.

Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.

Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.

Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.

Pagi itu, mereka disuguhi makanan khas daging babi oleh keluarga besar Johanes untuk disantap beramai-ramai. Setelah selesai, masyarakat, dan handai taulan keluarga Johanes mulai berangkat menuju kuburan nenek moyang. Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Pa`tane yakni rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.

Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan. Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah Pa`tane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.


foto Mayat Berjalan Tana Toraja

Tradition "Mappasilaga tedong" in Toraja




Salah satu kesenian khas Toraja yang cukup terkenal sampai ke mancanegara yaitu Passilaga Tedong (adu kerbau). Acara ini merupakan rangkaian adat yang wajib dilakukan saat perayaan Rambu Solo ,upacara pemakaman masyarakat Toraja yang masih mempertahankan tradisi masa lalu. Biasanya, masyarakat yang mengadakan pesta berasal dari keluarga bangsawan atau masih merupakan keturunan raja.

Setiap perayaan, ribuan warga berkumpul di lapangan menyaksikan adu kerbau yang dalam bahasa Toraja disebut dengan Ma ‘ pasa tedong. Satu persatu kerbau digiring ke tengah lapangan dan diadu. Seperti yang terjadi di Lapangan Deri, Toraja Utara, Setiap kerbau dituntun oleh pa’kambi (Pengembala), sesaat kemudian kerbau dilepas ketika saling berhadapan. Penonton pun bersorak ketika dua kerbau besar saling tanduk menanduk.

Tapi, sebelum acara adu kerbau dimulai, seluruh keluarga yang berduka melakukan ritual berjalan mengelilingi tana nampasa (tanah berkumpul) sebanyak tiga kali putaran. “ Ritual tersebut sebagai simbol aluk todolo, sebutan buat nenek moyang masyarakat Toraja,” papar Hermina Pasolang, Ketua Adat Lembang Parinding, Toraja utara.



Perayaan ini juga memiliki tingkatan. Mulai dari tingkat rendah hingga tertinggi atau kengkap. Disebut lengkap ketika semua jenis kerbau (tedong bonga) ada dalam perayaan dan jumlahnya melebihi 24 kerbau. Sebab tingkat terendah ketika jumlah kerbau mencapai 24 ekor. Ketika sudah lengkap maka perayaan disebut sapu randanan. “ Ini merupakan wujud cinta kasih pada orang tua yang sudah meninggal,” ujar Agustinus, Tokoh Adat Toraja yang penulis temui beberapa bulan lalu.

Kerbau yang diadu dalam perayaan bukan sembarangan kerbau. Namanya Tedong Bonga. Kerbau pilihan yang dipelihara khusus oleh pengembala. Spesiesnya hanya ditemukan di Toraja. Harganya pun cukup mahal hingga mencapai ratusan juta rupiah. Satu kerbau yang dipakai dalam perayaan biasa dihargai 250 juta,” ujar Agustinus, Tokoh Masyarakat Toraja Utara.

Mahalnya harga kerbau tidak menjadi persoalan bagi sang empunya pesta. Masyarakat Toraja percaya jika kerbau tersebut merupakan kerbau pilihan yang bisa dipersembahkan pada pencipta untuk memudahkan sang mayit menuju surga.

Nama setiap kerbau juga beragam, Sokko, Tekken langi, Ta’busura, Lotong Boko, Pudu, Balandati, Todi. Sehari sebelum adu kerbau, tokoh adat memberi nama dan biasanya disesuaikan dengan nama dewata.

Selain tedong bonga, ada juga kebau yang panjang tanduknya mencapai 4 meter. Namanya Tedong Balian. Harganya tak jauh beda dengan kerbau lainnya. Bisa mencapai 270 juta per ekor. Kerbau tersebut tidak di ikutkan dalam pertandingan. Melainkan dihiasi dengan kain dan siap dikurbankan untuk mengantar sang mayit ke alam baka. Setiap pengembala kerbau seperti Yohanes, pengembala kerbau yang merawat Tedong Balian dibayar Rp 800 ribu setiap bulan. Kerjanya hanya merawat dan memastikan kerbau tersebut dalam kondisi sehat.


“ Acara adat seperti adu kerbau memang harus terus di jaga kelestariannya, karena termasuk adat istiadat orang Toraja yang sudah turun temurun,” ungka Jeremy yang datang menemani keluarganya mengadu kerbau. Agustinus juga menambahkan jika dalam perayaan tersebut masyarakat tidak dipaksakan mengikuti adat. Tapi hanya bagi mereka yang mau melestarikan budaya dan memiliki cukup dana.







One typical Toraja art is very well known to foreign countries is Passilaga Tedong (buffalo race). This event is a series of custom that must be done during the celebration of Solo Signs, funeral Toraja society that still retains the traditions of the past. Usually, people who have a party coming from a noble family or descendants still the king.

Each celebration, thousands of citizens gathered on the ground watching the buffalo fights in Toraja called Ma 'pasa tedong. One by one the buffalo were herded into the middle of the field and pitted. As happened in the Field Deri, North Toraja, Every buffalo guided by pa'kambi (herdsmen), a moment later released when the buffalo facing each other. The audience also cheered when the two big buffalo horns to gore each other.

But, before the show starts buffalo fights, the whole family is grieving ritual walk around the tana nampasa (ground together) as much as three times a round. "The ritual is a symbol Aluk Todolo, designation for ancestral Toraja society," said Hermina Pasolang, Chairman of the Peoples Lembang Parinding, northern Toraja.


This celebration also have tiers. Starting from the lowest to the highest level or kengkap. Called complete when all types of buffalo (tedong Bonga) exists in the celebration and the amount exceeds 24 buffalo. For the lowest level when the number reached 24 buffalo tail. When it is complete then the celebration is called broom Randanan. "This is a manifestation of love to parents who have died," said Augustine, the author of Toraja Traditional Leaders met several months ago.
Buffaloes are pitted in a celebration not a haphazard buffalo. His name Tedong Bonga. Buffaloes options specifically maintained by the herdsmen. Species found only in Toraja. The price is quite expensive to reach hundreds of millions of dollars. The buffalo are commonly used in the celebration valued 250 million, "said Augustine, Community Leaders of North Toraja.
High prices of buffalo is not a problem for the owner of the party. Toraja people believe if the buffalo is a buffalo options that can be dedicated to the creator to facilitate the deceased to heaven.
The name of each buffalo is also diverse, Sokko, Tekken rainbow, Ta'busura, Lotong Boko, Pudu, Balandati, Todi. The day before the shoot buffalo, traditional leaders and are usually adjusted to give a name with the name of a deity.
Besides tedong Bonga, there is also kebau long horns reach 4 feet. His name Tedong Balian. The price is not much different from other buffalo. Could reach 270 million per head. Include buffalo is not in the game. But decorated with fabrics and ready sacrificed to take the deceased into the afterlife. Each buffalo herdsmen like John, buffalo herdsmen who treat Tedong Balian paid Rp 800 thousand per month. It acts just take care and ensure the water buffalo in a healthy condition.

"Events such as the traditional buffalo race must continue on guard its preservation, because it includes customs Toraja people who are hereditary," Jeremy gibbon who came to accompany his family complained buffalo. Augustine also added if the celebration is not forced to follow traditional society. But only for those who want to preserve the culture and have sufficient funds.

Rabu, 14 Desember 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN RUMAH ADAT SUKU TORAJA DAN ASAL USUL SUKU TORAJA


Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.
Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.
Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5 (lima) daerah yang terdiri atas :
1. M a k a l e
2. Sangala
3.Rantepao
4. Mengkendek
5. Toraja Barat.
Daerah-daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan yang bernama PUANG. Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama PARENGI, sedangkan .dae rah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama MA'DIKA.
Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGI dan MA'DIKA. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG,. sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.

Kepercayaan.
Di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali. Kasta atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat) :
1. Kasta Tana' Bulaan

2. Kasta Tana' Bassi1.

3. Kasta Tana’Karurung

4. Kasta Tana' Kua-kua

Adat Istiadat.

Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 ( dua ) macam pembagian yaitu:

Upacara kedukaan disebut Rambu Solok.
Upacara ini meiiputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu :
a. Rapasan
b. Barata Kendek
c. Todi Balang
d. Todi Rondon.
e. Todi Sangoloi
f. Di Silli
g. Todi Tanaan.

Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka.
Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan
Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal. Upacara adat itu meliputi persiapan penguburan jenazah yang biasanya diikuti dengan adu ayam, adu kerbau, penyembelihan kerbau dan penyembelihan babi dengan jumlah besar. Upacara ini termasuk dalam Rambu Solok, dimana jenazah yang mau dikubur sudah di simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu. Akan hal tempat kuburan ini, suku Toraja mempunyai tempat yang khusus., Kebiasaan mengubur mayat di batu sampai kini tetap dilakukan meskipun sudah banyak yang beragama Katholik, Kristen. Hanya yang sudah beragama Islam mengubur mayatnya dalam tanah sebagaimana lazimnya. Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan. Besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Kriterianya diukur dari jumlah babi dan kerbau yang dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum bangsawan upacara itu sampai sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan. Belum lagi biaya (lainnya) yang banyak, sekalipun dirasakan berat tetapi lambat laun dari masalah adat telah berubah menjadi masalah martabat.


PERKEMBANGAN RUMAH ADAT TORAJA


Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus sampai kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun. Sampai pada keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam proses perkembangan. Sekalipun begitu, sejak asalnya rumah adat ini sudah punya ciri yang khas. Ciri ini terjadi karena pengaruh lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja sendiri. Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan kare­na bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku
Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.
1. Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing (gambar 1).
2. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas (gambar 2) .

3. Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re'neba Longtongapa (gambar 3).

4. Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung. (gambar 4) .

5. Perkembangan ke~5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu. tiang-tiang dibuat sedemikian ru pa sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal (gambar 5).

6. Lama sesudah itu terjadi perobahan yang agak banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi, (Gambar 6).

7. Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon (Gambar 7). Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya.

8. Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan (gambar 8).

9. Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai (gambar 9)

10. Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai (ruang). (gambar 10).

11. Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua.
Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan
akan ruang dan konstruksi. Bagitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.

( berikut adalah contoh-contoh) RUMAH ADAT.

( contoh 1)

Nama Tempat : Garampak
Kampung : Marinding
D e s a : Kandora
Kecamatan : Mengkendek


1. Gambaran Umum.
Di kampung ini terdapat 3 rumah adat, 2 lurnbung dan 1 rumah tinggal biasa. Ketiga rumah adat itu yang satu merupakan rumah lama dan ditinggali oleh penghuninya, yang satu dalam rekonstruksi dan yang sebuah lagi dalam taraf pembangunan. Dalam peninjauan ini lebih dikhususkan pada rumah yang dikonstruksi yang menurut keterangan, dibuat kira-kira 100 tahun yang lalu.


2. Tata Letak.
Semua rumah mnghadap ke Utara, karena ada kepercayaan bahwa Utara merupakan lambang kehidupan. Sedang arah Selatan darimana timbul kehidupan (kelahiran) merupakan tujuan kemana setiap insan akan pergi (kenatian). Letak lumbung di karnpung ini tidak dapat tepat di depan rumah, lebih tepatnya agak disamping.


3. Perencanaan.
Direncanakan oleh tukang-tukang dan keluarga yang akan menempati rumah dengan dibantu beberapa tukang ukir. Cara pelaksanaan dengan sistim gotong-royong rakyat setempat.


a. Pembagian ruangan.
Ruangan rumah dibagi atas tiga bagian, dengan urutan dari Utara ke Selatan.
Ruang I : SALI, teimpat duduk, ruang tamu, entrance, dapur, termpat tidur anak,
Ruang II : INAN TENGA (SALI TENGA) , tempat tidur orang tua, ruang makan.
Ruang III: SUMBUNG, tempat tidur orang tua (nenek) dan orang-orang terhormat.


b. Ruangan-ruangan terletak dibagian atas rumah (panggung). Sedang dibagian bawah (kolong) dengan tiang-tiang merupakan kandang kerbau. Kandang babi terbuat terpisah dari rumah adat.
c. Fasilitas kamar mandi dan WC tidak ada, begitu juga dengan tempat cuci. Untuk keperluan ini penghuni harus pergi ke sungai terdekat.
d. Tangga masuk pada rumah adat ini banyak nengalami perubahan mulai letak di depan di kolong, sampai di samping. Pada rumah adat di desa ini tangganya berada di depan.

4. Struktur.
Struktur rumah terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan yang kaku dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang.
Konstruksi bangunan ini adalah tahan gempa & angin dalam arti kata tidak runtuh. Sebab seluruh bagian merupakan satu kesatuan yang diletakkan diatas batu begitu saja.
Untuk bangunan yang ditinjau ini tiangnya 9 buah termasuk Tulak Somba. Selebihnya adalah tiang pembantu yang dihubungkan dengan kasta-kasta ( menggambarkan struktur sosial Tana Toraja) Adapun stratifikasi sosial Tana Toraja yang berhubungan dengan rumah adat ialah :
- Tana Bulaan ( bulaan = emas ) jumlah tiang rumah 29 buah
- Tana Besi Jumlah tiang rumah 27 buah
- Tana Karuru ( Karuru = ijuk ) jumlah tiang rumah 25 buah
- Tana Kua-Kua ( Kua = tebu ) jumlah tiang rumah 23 buah.

5. Konstruksi.
a. materi bangunan.
hampir keseluruhan menggunakan bahan kayu. dimulai dari balok tiang, papan untuk dinding dan lantai. Untuk alas runah (pondasi) digunakan batu.
Jenis kayu yang digunakan tergantung dari persediaan. Jenis itu umumnya kayu Bunga, kayu Buangin (cemara) , kayu Kalapi/ Nangka, Cendana, kayu Beringin.

b. cara penyambungan
Untuk atap menggunakan sistim ikat (dengan rotan) dan jepit. Untuk balok-balokbanyak menggunakan sistim pen.

c. Atap.
Bahan dari bambu yang dibelah dan dirangkai menjadi bidang-bidang. Pengikat menggunakan rotan dan diantara lapisan bambu diberi ijuk. Untuk hubungan dipakai bambu belah-belah.


d. Dinding.
Menggunakan bahan papan yang biasa.nya penyelesaiannya diukir dibagian luarnya.

e. Tiang.
Dari balok yang raasih berupa pohon yang hanya diperhalus sedikit, lalu ditaruh begitu saja diatas batu.
f. Penyelesaian.
Untuk ukir-ukiran dicat yang dipakai ialah tanah merah + tuak, arang + cuka + air.
g. Lantai.
Dari papan, balok kecil yang dipasang saling bersilangan ditambah anyaman kayu.
h. Cara pembuatan.
Untuk mengukur kedataran (rata) dipakai perkiraan sejajar permukaan air. Untuk mengukur arah tegak dipergunakan pertolongan tali.
6. Kandang babi.
Bangunan sederhana dengan konstruksi bambu.
7. Lumbung.

Konstruksi sama dengan rumah, tapi strukturnya berbeda dan lebih sederhana. Jumlah tiang lebih sedikit dan tidak memakai tulak somba. Tiang biasanya berjumlah 4 atau 6 buah.

8. Ornamen/Hiasan bangunan.
Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah adat sebagian besar mempunyai arti. Arti ini biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih diipertahankan. Disamping itu ada pula yang hanya merupakan hiasan saja, misalnya :
Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada tiap-tiap sudut rumah adat.
Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam ornamen, masing-masing ialah :
a. Ornamen binatang
Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak dipergunakan untuk ornamen. Misalnya tanduk, kepala ( tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau ( tiruan dari kayu ) biasanya dipasang pada ujung-ujung balok lantai bagian depan (pata sere).
Tanduk kerbau disusun pada tiang yang utama (tulak- sonba) artinya menyatakan jumlah generasi yang pernah tinggal di rumah adat itu.
Ayam jantan, sebagai lambang Kasta Tana’ Bulaan (kasatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga dipintu-pintu.

Babi, sebagai lambang binatang sajian.
b. Ornamen Senjata.
Keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang Kasta Tana Bulaan (kasatria).
c. Ornamen Tumbuh-tumbuhan.
Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang utama tulak somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai ruang tamu, juga di pintu-pintu.
Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU. Ornamen ini diukir dulu baru dipasang di tempat. Penyelesaian ukiran biasanya dengan zat pewarna yang dibikin dari tanah +tuak atau arang + cuka + air.


( contoh 2)


Nama desa: Sarira
Kecamatan: Makale
Kabupaten: Tana Toraja

Pembahasan Umum :
Di desa ini, seperti juga kebanyakan di tempat lain di Tana Toraja, banyak menggunakan kayu URU. Adapun alasannya antara lain : relatif tahan lama, mudah didapat di tempat tersebut, cukup mudah untuk diukir.
Di desa ini terdapat rumah adat yang dalam proses penggantian atap dari atap bambu menjadi atap seng.Penggantian ini disebabkan atap yang lama sudah busuk (rusak) atau bocor. Penggunaan materi seng adalah gejala masuknya hasil teknologi modern yang terlihat nyata. Dengan materi ini pula bersamaan masuknya beberapa alat modern pada rumah adat itu. Misalnya mulainya penggunaan paku dan sebagainya. Begitu juga dengan sendirinya konstruksi atap mengalami perubahan yang cukup banyak, sekalipun tidak prinsipil. Banyak alasan tentang penggunaan mate­ri seng ini yang pada dasarnya bersifat praktis, seperti :
- lebih cepat dalam pembangunannya
- lebih murah, karena menggunakan jumlah kayu lebih sedikit (ekonomis)
Disamping alasan-alasan praktis itu sebenarnya tidak disadari akibat yang timbul karenanya. Salah satu efek negatifnya ialah expresi tradisionilnya hilang. Sebab atap yang merupakan hampir setengah bagian bangunan, mempunyai permukaan bidang yang cukup besar. Kalau ditinjau dari segi kekuatan bambulah yang lebih kuat. Karena bambu dapat tahan kira2 sarapai 40 tahun. Relatif cukup lama dibandingkan seng, sebab dalam prakteknya bambu ini ditumbuhi tumbuh2-an yang melindungi dari sinar matahari atau hujan.

( contoh 3)
Nama tempat :halaman Teuru
Kampung :Berurung
Desa :Sesean Mataallo
Kecamatan :Sesean
Kabupaten :Tana Toraja
1. Pembahasan Umum.
Menurut keterangan penduduk setempat rumah-rumah adat di kampung ini sudah berusia kira-kira 50 tahun. Ada rumah yang sudah diganti atapnya sekalipun menggantinya dengan bambu juga. Tetapi satu hal yang menyolok dikampung ini ialah dibangunnya dapur disamping rumah adat yang berbentuk model rumah Bugis. Bangunan induk mulai dibuat jendela-jendela kaca untuk mendapatkan sinar lebih banyak. Satu lagi efek tak menguntungkan terhadap kepribadian rumah adat Tana Toraja.
Tiap rumah di kampung ini ditinggali oleh satu keluarga. Urutannya dimulai dibagian Timur untuk Bapak & Ibu berikutnya mengikuti ketinggian tanah adalah rumah-rumah untuk anak.
Seperti di tempat lain di Toraja, di desa inipun lumbung merupakan lambang kekayaan. Semakin banyak jumlah lumbung semakin kaya penghuninya.


(contoh 4)
Nama Kampung : Tondok batu
Desa : Tondon
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja
Kampung Tondon Batu terletak di desa Tondon yang lokasinya berada di bagian Timur Kota Rantepao. Kampung ini merupakan kelompok rumah-rumah adat yang tidak besar, karena di sini hanya terdapat 4 tongkonan (rumah adat).
Sekalipun begitu satu keistimewaan rumah adat di kampung ini ialah adanya rumah adat yang berumur kira-kira 200 tahun dan sudah berganti atap sampai 3 kali. Dalam waktu yang sekian lama rumah adat itu masih berdiri dengan baik, artinya masih berfungsi sebagai tempat tinggal, Disamping itu di kampung ini terlihat adanya pengaruh bentuk runah Bugis. Juga mengenai bentuk lumbung-lumhung disini umumnya mempunyai panjang tiang yang lain, yang lebih panjang. Jadi secara tampak, lumbung-lumbung itu terlihat lebih tinggi daripada yang umumnya ada.
( contoh 5)
Nama kampung : Kondok
Nama Desa : Tondon
Kecamatan : Sangalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Pembahasan Umum
Kampung Kondok letaknya tidak begitu jauh, masih di Kecamatan Sanggalangi juga Kampung ini sebenarnya tidak begitu besar karena jumlah penghuninya hany 4 keluarga. Dalam peninjauan ke kampung ini lebih ditekankan kepada penelitian konstruksinya, Sebab kebetulan sedang ada penggantian atap & lantai. Biasanya dalam penggantian atap ini selain lantai diikuti juga dengan penggantian dinding (ukiran). Hanya tiang-tiang yang utama yang tetap tidak diganti.

Dalam peninjauan ke kampung ini sempat ditanyakan sekitar harga rumah. Sekalipun patokannya bukan uang, tapi jika dikalkulasikan harganya cukup mahal juga. Seperti misalnya:
- penggergajian kayu upahnya 3 (tiga) kerbau
- mendirikan upahnya 4 (empat) kerbau
- mengukir 1 (satu) kerbau
- finishing 100 (seratus) babi.

Harga-harga ini belum termasuk harga dari pembelian kayu sendiri, yang dinilai cukup mahal. Tetapi biasanya untuk kayu ini mereka ambil dari kebun sendiri.
(contoh 7)
Nama Kampung Kampung Kecamatan Kabupaten
Pembahasan Umum.
Nama kampung : Marante
Nama Desa : Tondon
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja
Kampung Marante terletak di bagian Utara dari Kabupaten Tana Toraja. Letak Kampung ini agak masuk kira-kira 50 meter dari jalan raya. Merupakan satu kelompok rumah adat Toraja yang cukup besar. Dibagian belakang kelompok ini terdapat kelompok kecil yang merupakan perkembangan dari kelompok kampung Marante.
Di dalam kelompok rumah-rumah adat di kampung ini terdapat juga 2(dua) rumah model Bugis yang letaknya terselip diantaranya. Kedua rumah Bugis ini rupanya dibangun paling belakangan dengan pertimbangan hal yang lebih fungsionil. Dilihat dari segi kesehatan rumah Bugis ini lebih baik, karena banyak mempunyai lubang untuk jendela. Sehingga memungkinkan adanya sinar masuk dan ventilasi udara.
Seperti di tempat lain di kampung Marante inipun letak lumbung berhadapan dengan rumah-rumah adat. Jadi biasanya jumlah rumah sama dengan jumlah lumbung.
Adapun jumlah rumah ada : 7 (tujuh) buah, jumlah lumbung : 9 (sembilan), jumlah rumah Bugis 2 (dua), jumlah kandang babi : 7 (tujuh) buah, jumlah dapur : 5(lima). Jumlah dapur ini yang 2 masing-masing menempel pada rumah Bugis sedang yang 3 menempel pada rumah adat. Kandang babi umumnya terletak dibagian belakang dari rumah adat.

(Contoh 8)
Nama Kampung :Palawa
Nama Desa :Pangli Palawa :Sesean
Kabupaten :Tana Toraja

Pembahasan Umum
Letak Kampung ini berada disebelah Utara kota Rentepao, Lokasi perkampungannya cukup jauh dari jalan raya, kalaupun ada jalan masuk jalan itu sempit dan jelek sekali keadaannya. Pada jalan ini banyak terdapat rumah adat yang dibangun sendiri-sendiri, artinya bukan merupakan satu kelompok. Rumah-rumah ini umumnya dibangun pada waktu belakangan, hal ini terlihat atapnya yang banyak menggunakan seng dan bermoncong tinggi.
Keadaan medan mendekati perkampungan ini agak naik, pada dataran yang tertinggi berkumpullah rumah-rumah adatnya. Seperti semua rumah adat, disinipun menghadap arah Utara. Berhadapan dengan lumbung-lumbung dimana padi disimpan atau sebagai ruang tamu. Hal berhadapan ini menurut keterangan ialah perlambang antara lumbung dan rumah adat sebagai suami dan isteri.
Rumah-rumah adat disini rata-rata masih menggunakan atap bambu. Sekalipun usianya sudah 7 turunan dan mengalami penggantian atap, keadaan rumah adat disini umumnya masih baik. Jumlah rumah adat adalah 9 dan jumlah lumbung 11. Dari junlah ini ada yang bermoncong lebih tinggi, ini merupakan ciri dari rumah adat yang sudah diganti atapnya.
Perkampungan ini cukup bersih menurut ukuran kampong-kampung di Tana Toraja. Karena hal ini mungkin perkampungan ini jadi sering didatangi wisatawan. Akibatnya dari hal itu timbul pedagang-pedagang yang menjual barang souvenir, umumnya mereka penduduk setempat.
Nama Tempat: Kete.
Nama kampung : Bonoran
Nama Desa : Tikun'na Malenong
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Pembahasan Umum
Perkampungan Ke'te letaknya relatif dekat dengan kota Rantepao. Perkampungan ini adalah yang paling terkenal dari sekian banyak perkampungan lain yang dibuka untuk wisatawan. Sekalipun bukan merupakan perkampungan yang besar tapi Ke'te nempunyai keistimewaan. Sebab disini terdapat juga kuburan Batu (gunung batu) yang merupakan batas sebelah dari perkampungan ini. Kuburan ini sekaligus manjadi obyek wisata karena kebetulan letaknya cukup dekat. Batas disebelah Utara ialah sawah yang banyak digenangi air, mungkin merangkap sebagai tempat pembuangan air hujan. Keistimewan lain, diperkampungan ini sudah ada air leiding yang belum tercatat dari mana asalnya. Begitu juga riol - riol di depan rumah yang mungkin dimaksudkan untuk saluran air hujan. Itulah sebabnya mungkin Ke'te keadaannya relatif lebih baik dibandingkan perkampungan yang lain di Tana Toraja. Tanah yang becek atau genangan air tidak kita jumpai disini. Kesannya kehidupan diperkampungan ini lebih sehat.
Jumlah rumah adat disini ada 8 (delapan) disaimping terdapat 14 lumbung yang bentuk atau bahannya bermam- macam, Diperkampungan ini juga terdapat lumbung yang dibuat dari bambu baik itu tiang, dinding, sampai atapnya. Menurut keterangan bentuk ini adalah yang pertama kali diciptakan. Disamping itu terdapat bentuk rumah yang meniru rumah bugis meskipun atapnya memakai bambu.Bentuk-bentuk rumah ini biasanya sudah dilengkapi dengan kamar mandi dan WC,bahkan tempat cuci. Karena sudah menjadi tempat yang sering dikunjungi wisatawan di Ke'te dibangun bentuk asal rumah adat suku Toraja (Lantang Talumio dan Pandoko Dena).
Bentuk asal ini dibuat untuk memberikan penerangan tentang asal usul rumah adat Toraja.Perkampungan Ke'te adalah contoh suasana perkampungan yang disesuaikan dengan keinginan wisatawan.Sehingga ada beberapa ciri yang terpaksa dikorbankan, padahal ciri itu merupakan kepribadian rumah adat.
Sebagaimana diterangkan diatas, di Ke'te ini terdapat lumbung yang keseluruhan konstruksinya menggunakan materi bambu. Ini adalah bentuk pertama lumbung setelah mengalami pemisahan dari rumah induk: (Tongkonan). Adapun urutannya secara teliti adalah sebagai berikut:
1. P a l i k u lumbung yang terletak dibawah rumah adat.
2. Lumbung Bambu terpisah dari rumah adat menggunakan 4 tiang.
3. Lumbung kayu terpisah, bertiang 4 dan tak diukir.
4. Lumbung kayu terpisah, bertiang 4 dan mulai diukir.
5. Lumbung kayu terpisah, bertiang 6 dan merupakan lumbung yang umum dibikin baik yang diukir ataupun yang tidak diukir.
6. Lumbung kayu terpisah, bertiang antara 8 sampai dengan 12, merupakan
lumbung-lumbung yang mengikuti perkembangan.


KESIMPULAN.
RUMAH ADAT DAN LUMBUNG.,
Tata Letak.
-Kelompok rumah adat/perkampungan biasanya terletak diluar kota, terpencil dari keramaian umum seperti di lereng gunung.
-Arah rumah adat selalu berhadapan dengan lumbung padi, sebab keduanya melambangkan suami dan isteri.
-Rumah adat selalu menghadap arah Utara dan Lumbung arah Selatan. Hal ini berhubungan dengan adat suku Toraja yang mempertimbangkan arah Utara sebagai kehidupan dan arah Selatan sebagai Lambang Kematian.
-Kelompok rumah adat biasanya berjumlah antara 10 - 15 pasang rumah adat +lumbung. ,

Struktur
-Secara keseluruhan rumah adat atau lumbung merupakan suatu kesatuan struktur. Maksudnya antara bagian tiang dinding dan atap merupakan satu kesatuan konstruksi, oleh karenanya bangunan ini tahan gempa dalam arti kata tidak runtuh, tetapi hanya mengalami pergeseran perletakkan.

Hubungan elemen-elemennya menggunakan sistim pengikat, tusuk, coak,dan sebagainya. Materi umumnya memakai jenis kayu URU dan bambu, sebab bahan-bahan ini mudah didapat di daerah itu.
Konstruksi pondasi hanya merupakan tempat perletakan yang tidak diikat dan alas yang dipakai ialah batu alam. Perletakan ini hanya berfungsi untuk mencegah turunnya bangunan karena lembeknya tanah.
Tiang tiang mencapai kekakuan dengan bantuan tiang pembantu dan ditusuk oleh balok balok horisontal ( Patolok)
Lantai merupakan bagian yanmg memakai sistim balok induk dan balok anak. penutupnya adalah bambu yang dipecah. Dan dipasang melintang terhadap balok anak.
Perletakan elemen lantai ini dengan memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan dari arah kolong.
Dinding mempergunakan sistim hubungan papan dalam arah vertikal yang dijepit oleh papan papan horisontal. Dinding ini diukir dengan maksudperlambangan dan dekorasi.

Rangka atap tidak memakai sistim kuda kuda. Untuk mencapai bentuknyayang menjulang ialah dengan menyambung nok ( kandang pemiring) dengan pangoton dan paramak. Sambungan ini menggunakan sistim ikat (berfungsi batang tarik) dimana ikatan itu memakai rotan. Sambungan nok menusuk balok vertikal ( katorok yang ditahan balok horisontal ( lemba-lemba)). lemba lemba ini menahan gerakan vertikal dengan berpegang kepada sepasang tengkek longa yang berposisi miring vertikal. Dan akhirnya noknya ( kadang pemiring) yang menahan semua beban didukung oleh kolom besar ( tulak somba)

Penutup atap yang menggunakan bambu dapat berumur relatif lebih lama dibandingkan atap atau seng atau sirap, tetapi konsekwensinya berat dan mahal. Penutup atap dari seng/ sirap umumnya dipakai pada rumah adat yang dibangun belakangan.


Bentuk
Bentuk atap yang khas dari rumah adat Toraja terjadi secara tidak langsung dipengaruhi oleh bentuk tanduk kerbau yang menjadi binatang kebanggan suku Toraja. Juga oleh bentuk kapal nenek moyangnya yang terdampar waktu datang pertama kali kesana.
Ekspresi bentuk yang menggunakan atap bambu lebih natural dari pada yang menggunakan seng atau sirap.
Bentuk atap mula mula agak datar noknya dan bagian ujungnya tidak begitu menjulang. Bentuk yang dibuat belakangan umumnya mempunyai ujung yang menjulang tinggi dan ramping.



FASILITAS:

Kamar mandi WC tidak terdapat dalam rumah adat . Dalam perkembangan terakhir kedua unsur itu mulai memasuki kelompok rumah adat, sekalipun dalam bentuk terpisah tetapi agak mengganggu kepribadian rumah adat.

Saluran saluran.

Fasilitas berupa saluran baik berupa saluran air bersih atau air kotor/ hujan tidak ada. Hal ini mengakibatkan terjadinya genangan air tanah menjadi becek serta udara menjadi lembab.

Dapur, terdapat asalnya didalam rumah adat yang berfungsi sebagai pemanas ruangan karena hawa yang dingin. penempatan ini kurang baik apalagi dengan tidak adanya sistim ventilasi yang baik, hal mana tentunya mengganggu kesehatan penghuni.
Gudang untuk menyimpan alatkehidupan berada dirongga atap.

Organisasi ruangan.
Fungsi ruangan umumnya berganda. Organisasinya masih amat sederhana dan antara ruangan dengan ruangan lain tidak disekat secara tegas. Satu satunya cara membedakan fungsi ruangan adalah dengan permainan tinggi rendahnya lantai.
Permainan ini berhubungan erat dengan stratifikasi sosial masyarakat Toraja.

Toraja, Land of Kings


According to Local beliefs, Tana Toraja was delivered from “tau raya” means great person, or king. “Tana” means land. So, “Tana Toraja” means land of the kings or land of royal descendents. This belief stemmed from a myth that Toraja ancestor came down from heaven using “stairway from the skies”.The Bugis Sidenreng tribe called Toraja People “To Ria ja” that means people who live in the high country or mountains. Meanwhile, the Luwu tribe called them “To Ria jang” means people who live in the west. Since I’am Toraja, I prefer the first one, “land of royal descendants”.
The antropologist research states that population of Tana Toraja is result of acculturation process between immigrants from Tongkin Bay, China and the indigenous people of South Sulawesi. This process began when Indo-Chinese immigrant in large numbers landed upriver somewhere in the Enrekang area, after which they settled down.
Majority of Toraja Population are Christian. Long before they embraced Christianity, they followed a set of religious commandments called Aluk Todolo. The ancestors believed that every human being on Earth had been provided with the Aluk. Until now, the Toraja tribe still practises its edicts, along with their newer faiths. Aluk Todolo is the source of a number of unique rituals to Tana Toraja.
Thought Toraja cultural variety has never changed, the administrative status of Tana Toraja has undergone several permutations over the years. In 1926, Tana Toraja was designated as Onder Afdeeling Makale Rantepao, under the administrative jurisdiction of Luwu. In 1946, Tana Toraja seceded into the autonomous Swaraja. In 1957, the region changed again into kabupaten Dati II Tana Toraja. Finally, in 1999, Tana Toraja was officially registered as Kabupaten Tana Toraja, a tourists destination with a popularity to rival that of Bali’s.
Kluwek ( in Toraja Language : Pamarrasan) is the condiment of choice for Toraja cooking, as it is used in almost every Toraja dish,such as grilled or stew fish, pork and chicken. This dish called “Pantollo Pamarrasan”. This condiment is from the seeds. The fruit is made as dish called “pangi”. Pangi is cooked with pork, and the main condiment is pamarrasan.
Pa’piong is another Toraja famous cuisine. Pa’piong made from pork/fish/chicken, inserted into bamboo pipe and grilled. Similiar with Nasi Jaha from Manado, Toraja also has Pa’piong Bo’bo. Pa’piong is cuisine inserted into bamboo pipe and grilled, bo’bo means rice (specifically, sticky rice).
Coffee is the Toraja people’s most famous product that is not only consumed domestically, but also internationally. The largest investor in Tana Toraja coffee is Japan ( I think, why don’t Indonesia?). You can see cofee plantation along with terraced paddy fields in Toraja scenery.
Lada Katokkon ( Lada means chili, and katokkon is a kind of chili). It is Toraja’s distinctive, strawberry-shaped chili that is hotter than a chili pepper (somehow, I’m proud of it :p ). Bulunangko (Mayana) is vegetable that  often presents at Toraja events. It color is purple (some of it is purple-green), and tasting like slightly more sour spinach, slightly bitter and cooked with fish, pork or chicken. Passion fruit and eggplant (tamarela) also soybean are favourite ingredient used in welcome drink for toraja guest.
Pa’piong
Pa’piong Bo’bo
Lada katokkon
CIRI-CIRI KHUSUS ORANG TORAJA

suku toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
RUMAH ADAT ORANG TORAJA

Konon kata tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi. Antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan stabilator sosial.
Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan pesio’aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Ada juga tongkonan pekaindoran, pekamberan, atau kaparengngesan, yaitu tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari tongkonan pesio’aluk. Sementara itu, batu a’riri berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkona
RITUAL KEMATIAN MASYARAKAT TORAJA
(RAMBU SOLO`)


RAMBU SOLO’ adalah: adat warisan nenek moyang yang patut kita jaga dan lestarikan dengan tidak `harus` membebani diri,rambu solo, merupakan upacara ritual kematian yang memang membtuhkan dana yang sangat besar, bahkan ratusan juta.Bagi suku Toraja(sulawesi selatan,indonesia), Rambu Solo` adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka.
MA’BADONG

Ma’badong merupakan tarian kedukaan yang diadakan dalam upacara ritual kematian masyarakat Tanah Toraja.
Tarian ini dilakukan secara berkelompok pada umumnya oleh kaum pria, baik muda atau pun tua, namun wanita juga tidak dilarang. Para penari (pa’badong) membentuk sebuah lingkaran dan saling mengaitkan jari kelingking sambil melantunkan syair dan nyanyian ratapan disertai gerakan tangan dan langkah kaki yang disesuaikan dengan irama lagu. Dulu para ma’badong mengenakan kostum serba hitam namun seiring dengan perkembangan zaman, kostum yang dipakai tidak lagi berwarna hitam.
Penari ma’badong bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti. Suasana malam itu menjadi tambah sakral ketika para penari melantunkan syair atau lagu kesedihan (Kadong Badong). Lantunan syair ma’badong ini berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do’a, agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam di alam baka.
Lagu dilantunkan oleh si penari ini tidak menggunakan not. Syair dan lagu berisikan semacam catatan sejarah tentang keluhuran budi dan kebesaran jasa tokoh yang telah meninggal dunia tersebut. Lagu atau syair tersebut disebut “BATING” . Bating ini di suarakan oleh Indo’ badong yang mana Indo’ badong tersebut bertugas untuk mengatur setiap syair yang dilantunkan dan bentuk iramanya.
Tarian bergantian, sambung menyambung di pelataran Tongkonan tempat ritual digelar. Lama tarian ma’badong ini biasanya menelan waktu berjam-jam, semalam suntuk, bahkan terkadang berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.
Adapun, orang Toraja meyakini, seorang bangsawan akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam strata sosial masyarakat. Mereka selalu menjunjung tinggi orang yang berstatus bangsawan untuk dihormati serta dicintai layaknya seorang raja. Pandangan semacam inilah yang acap ditemui di dalam masyarakat adat Toraja hingga sekarang.
Mapasilaga
Salah satu budaya yang menarik dari Tana Toraja adalah adat Mapasilaga Tedong atau adu kerbau. Kerbau yang diadu di sini bukanlah kerbau sembarangan. Biasanya, kerbau bule (Tedong Bunga) atau kerbau albino yang menjadi kerbau aduan. Kerbau yang termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) tersebut merupakan spesies kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja. Selain itu, ada juga kerbau Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung dan Lontong Boke yang berpunggung hitam. Jenis kerbau terakhir ini adalah yang paling mahal dengan bandrol mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau jantan yang sudah dikebiri juga bisa diikutsertakan dalam Mapasilaga Tedong ini.
Sebelum upacara adat berlangsung, puluhan kerbau yang akan diadu dibariskan di lokasi upacara. Kerbau-kerbau tersebut kemudian diarak dengan didahului oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, musik pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian.
Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi (tuak), kepada pemandu kerbau dan para tamu. Adu kerbau kemudian dilakukan di sawah, dimulai dengan adu kerbau bule. Adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro Tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas.
Kerbau adalah hewan yang dianggap suci oleh suku Toraja. Kegiatan budaya ini biasanya ditampilkan saat Upacara Adat Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, orang Toraja memang mewarisi kebudayaan megalit atau zaman batu. Pewarisan nilai sejarah tersebut dapat terlihat di dalam setiap upacara pemakaman para bangsawan. Ini menandakan tradisi kebudayaan purbakala memang melekat erat dalam adat istiadat masyarakat Tana Toraja. Peninggalan masa megalit atau megalitikum. Tengok saja batu-batu menhir setinggi tiga meter yang berada di sana. Orang Toraja menyebutnya sebagai simbuang batu.

Dalam ritual pemakaman, simbuang batu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara. Konon, batu menhir ini ditancapkan pertama kali tahun 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman Dinasti Rante Kalimbuang.
MITOS
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa – dalam bahasa Toraja).
Ukiran Toraja adalah salah satu bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh Tana Toraja. Ukiran ini biasanya dapat dengan mudah ditemukan di sekujur bagian Tongkonan, baik rumah ataupun lumbung padi, serta di Erong. Ukiran lainnya yang dapat dengan mudah anda temukan adalah ukir-ukiran yang dibuat menjadi hiasan dinding untuk oleh-oleh atau corak di peralatan rumah tangga.
Di Ke’te’ Kesu’, ada sebuah workshop sederhana lokasi pembuatan ukir-ukiran khas Toraja. Lokasi workshop ini berada di deretan ujung Tongkonan paling belakang, yang terjauh dari pintu kedatangan. Di workshop ini, aneka macam ukir-ukiran digantung di dinding sementara itu seorang bapak dengan putranya sibuk mengukir sebuah papan dengan motif tertentu. Papan yang digunakan memang khusus. Melihat mereka mencungkil dan menggurat papan tersebut terlihat menyenangkan dan membuat saya ingin mencobanya. Padahal, papan tersebut lumayan keras loch. Namun, saya melihat mereka seakan-akan menggurat permukaan kue atau lilin saja. Begitu empuknya.
UKIRAN ORANG TORAJA
PATE’DONG
Ukir-ukiran Toraja umumnya berbentuk suatu motif tertentu walaupun ada juga yang spesial seperti ayam jantan, angsa, Tongkonan dan pemandangan. Motif-motif ukiran umumnya memiliki nama seperti Pa’ Tedong untuk ukiran motif kerbau dan Pa’ Erong untuk ukiran motif peti mati. Motif-motif yang diukir umumnya berbentuk melingkar, bulat, kotak-kotak dan bersiku. Warnanya sendiri kurang lebih hitam (warna dasar papan kayu), putih, merah dan kekuningan. Warna-warna ini diambil dari alam semua. Jadi bisa dikatakan pewarnaan ukiran berlangsung alami. Misalnya saja warna kekuningan berasal dari tanah liat dan putih berasal dari getah. Uniknya, setelah kering, warna-warna ini tidak luntur namun bersifat seperti warna cat pada umumnya.

CIRI-CIRI KHUSUS ORANG TORAJA



suku toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
RUMAH ADAT ORANG TORAJA

Konon kata tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi. Antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan stabilator sosial.
Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan pesio’aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Ada juga tongkonan pekaindoran, pekamberan, atau kaparengngesan, yaitu tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari tongkonan pesio’aluk. Sementara itu, batu a’riri berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkona
RITUAL KEMATIAN MASYARAKAT TORAJA
(RAMBU SOLO`)


RAMBU SOLO’ adalah: adat warisan nenek moyang yang patut kita jaga dan lestarikan dengan tidak `harus` membebani diri,rambu solo, merupakan upacara ritual kematian yang memang membtuhkan dana yang sangat besar, bahkan ratusan juta.Bagi suku Toraja(sulawesi selatan,indonesia), Rambu Solo` adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka.
MA’BADONG

Ma’badong merupakan tarian kedukaan yang diadakan dalam upacara ritual kematian masyarakat Tanah Toraja.
Tarian ini dilakukan secara berkelompok pada umumnya oleh kaum pria, baik muda atau pun tua, namun wanita juga tidak dilarang. Para penari (pa’badong) membentuk sebuah lingkaran dan saling mengaitkan jari kelingking sambil melantunkan syair dan nyanyian ratapan disertai gerakan tangan dan langkah kaki yang disesuaikan dengan irama lagu. Dulu para ma’badong mengenakan kostum serba hitam namun seiring dengan perkembangan zaman, kostum yang dipakai tidak lagi berwarna hitam.
Penari ma’badong bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti. Suasana malam itu menjadi tambah sakral ketika para penari melantunkan syair atau lagu kesedihan (Kadong Badong). Lantunan syair ma’badong ini berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do’a, agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam di alam baka.
Lagu dilantunkan oleh si penari ini tidak menggunakan not. Syair dan lagu berisikan semacam catatan sejarah tentang keluhuran budi dan kebesaran jasa tokoh yang telah meninggal dunia tersebut. Lagu atau syair tersebut disebut “BATING” . Bating ini di suarakan oleh Indo’ badong yang mana Indo’ badong tersebut bertugas untuk mengatur setiap syair yang dilantunkan dan bentuk iramanya.
Tarian bergantian, sambung menyambung di pelataran Tongkonan tempat ritual digelar. Lama tarian ma’badong ini biasanya menelan waktu berjam-jam, semalam suntuk, bahkan terkadang berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.
Adapun, orang Toraja meyakini, seorang bangsawan akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam strata sosial masyarakat. Mereka selalu menjunjung tinggi orang yang berstatus bangsawan untuk dihormati serta dicintai layaknya seorang raja. Pandangan semacam inilah yang acap ditemui di dalam masyarakat adat Toraja hingga sekarang.
Mapasilaga
Salah satu budaya yang menarik dari Tana Toraja adalah adat Mapasilaga Tedong atau adu kerbau. Kerbau yang diadu di sini bukanlah kerbau sembarangan. Biasanya, kerbau bule (Tedong Bunga) atau kerbau albino yang menjadi kerbau aduan. Kerbau yang termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) tersebut merupakan spesies kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja. Selain itu, ada juga kerbau Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung dan Lontong Boke yang berpunggung hitam. Jenis kerbau terakhir ini adalah yang paling mahal dengan bandrol mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau jantan yang sudah dikebiri juga bisa diikutsertakan dalam Mapasilaga Tedong ini.
Sebelum upacara adat berlangsung, puluhan kerbau yang akan diadu dibariskan di lokasi upacara. Kerbau-kerbau tersebut kemudian diarak dengan didahului oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, musik pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian.
Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi (tuak), kepada pemandu kerbau dan para tamu. Adu kerbau kemudian dilakukan di sawah, dimulai dengan adu kerbau bule. Adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro Tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas.
Kerbau adalah hewan yang dianggap suci oleh suku Toraja. Kegiatan budaya ini biasanya ditampilkan saat Upacara Adat Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, orang Toraja memang mewarisi kebudayaan megalit atau zaman batu. Pewarisan nilai sejarah tersebut dapat terlihat di dalam setiap upacara pemakaman para bangsawan. Ini menandakan tradisi kebudayaan purbakala memang melekat erat dalam adat istiadat masyarakat Tana Toraja. Peninggalan masa megalit atau megalitikum. Tengok saja batu-batu menhir setinggi tiga meter yang berada di sana. Orang Toraja menyebutnya sebagai simbuang batu.

Dalam ritual pemakaman, simbuang batu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara. Konon, batu menhir ini ditancapkan pertama kali tahun 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman Dinasti Rante Kalimbuang.
MITOS
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa – dalam bahasa Toraja).
Ukiran Toraja adalah salah satu bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh Tana Toraja. Ukiran ini biasanya dapat dengan mudah ditemukan di sekujur bagian Tongkonan, baik rumah ataupun lumbung padi, serta di Erong. Ukiran lainnya yang dapat dengan mudah anda temukan adalah ukir-ukiran yang dibuat menjadi hiasan dinding untuk oleh-oleh atau corak di peralatan rumah tangga.
Di Ke’te’ Kesu’, ada sebuah workshop sederhana lokasi pembuatan ukir-ukiran khas Toraja. Lokasi workshop ini berada di deretan ujung Tongkonan paling belakang, yang terjauh dari pintu kedatangan. Di workshop ini, aneka macam ukir-ukiran digantung di dinding sementara itu seorang bapak dengan putranya sibuk mengukir sebuah papan dengan motif tertentu. Papan yang digunakan memang khusus. Melihat mereka mencungkil dan menggurat papan tersebut terlihat menyenangkan dan membuat saya ingin mencobanya. Padahal, papan tersebut lumayan keras loch. Namun, saya melihat mereka seakan-akan menggurat permukaan kue atau lilin saja. Begitu empuknya.
UKIRAN ORANG TORAJA
PATE’DONG
Ukir-ukiran Toraja umumnya berbentuk suatu motif tertentu walaupun ada juga yang spesial seperti ayam jantan, angsa, Tongkonan dan pemandangan. Motif-motif ukiran umumnya memiliki nama seperti Pa’ Tedong untuk ukiran motif kerbau dan Pa’ Erong untuk ukiran motif peti mati. Motif-motif yang diukir umumnya berbentuk melingkar, bulat, kotak-kotak dan bersiku. Warnanya sendiri kurang lebih hitam (warna dasar papan kayu), putih, merah dan kekuningan. Warna-warna ini diambil dari alam semua. Jadi bisa dikatakan pewarnaan ukiran berlangsung alami. Misalnya saja warna kekuningan berasal dari tanah liat dan putih berasal dari getah. Uniknya, setelah kering, warna-warna ini tidak luntur namun bersifat seperti warna cat pada umumnya.