Minggu, 08 Januari 2012

Sejarah Suku Toraja


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili'na Lepongan Bulan Tana Matari'allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan matahari". Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Mitos



Rumah Adat Toraja
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit"(eran langi’) untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
 Aluk
Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Aluk Sanda Saratu
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tamboro Langi' yang merupakan pembawa aluk Sanda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Aluk Sanda Pitunna
Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.
Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suke dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan".
Kesatuan adat
Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo yang secara harafiahnya berarti "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.
Upacara adat
Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
  • Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara tertinggi
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
  • Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
  • Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
  • Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.
Rambu Tuka



Tarian Manganda' pada upacara Ma'Bua'
Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'.
Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
 Nilai Tradisi Vs Keagamaan
DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga
Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.
Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang "Penyimpanan Mayat di Tana Toraja", supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.
Pemakaman
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :
  • Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.
Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
  • Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
  • Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
  • Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
  • To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
  • Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
  • Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
  • Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.
 Tempat upacara pemakaman adat


"Rante"
Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Tau-tau
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.


Jumat, 06 Januari 2012

Tedong Seleko Simbol Kebangsawanan


Jika di sebagian belahan Nusantara kerbau hanya dipandang sebagai hewan ternak dan sering kali ditemukan berkubang lumpur di sawah, tidak demikian halnya dengan kerbau yang ditemukan di sekitar kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja.

Dalam upacara adat Toraja seperti Rambu Solo, kerbau memegang peranan sebagai piranti utama. Kerbau digunakan sebagai alat pertukaran sosial dalam upacara tersebut. Jumlah kerbau yang dikorbankan menjadi salah satu tolok ukur kekayaan atau kesuksesan anggota keluarga yang sedang menggelar acara.

Pada perayaan Rambu Solo almarhumah Agnes Datu Sarunggallo, ibu kandung istri Bupati Sinjai, Andi Rudiyanto Asapa, kerbau termahal dihadirkan pada pesta tersebut. Konon, kerbau ini sebagai termahal sepanjang pesta kematian di Kabupaten Toraja.

Kerbau itu berjenis Tedong Saleko. Usianya mencapai 14 tahun lebih dihargai sebesar Rp360 juta. Sebenarnya, tidak banyak yang membedakan antara Tedong Saleko dengan Tedong Bonga, kecuali pada warna bulunya. Tedong Bonga mempunyai bulu berwarna putih pada bagian kepala saja, tapi Tedong Saleko mempunyai bulu berwarna putih pada semua bagian tubuhnya.

Lalu mengapa Tedong Saleko mempunyai nilai jual melambung tinggi dan bagaimana cara memeliharanya? Ketua Satu Panitia Perayaan Rambu Solo, Predy Batuarung mengungkapkan tedong Saleko memang menjadi primadona di Kabupaten Tana Toraja karena kerbau jenis ini hanya bisa lahir di Toraja. Selain itu, tedong Saleko tidak lahir sembarang dan hanya lahir pada pemilik kerbau yang beruntung saja.

“Pernah dilakukan upaya kawin silang untuk mendapatkan jenis kerbau Saleko ini namun tidak berhasil. Terkadang juga jenis Saleko dilahirkan oleh kerbau berjenis biasa atau berbulu hitam. Itu artinya Tedong Saleko memang benar-benar unik,” jelas Predy.

Lebih lanjut Predy mengatakan biasanya jenis kerbau Saleko hanya dimiliki oleh keturunan raja-raja atau mereka yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Tedong Saleko, kata Predy, hanya sekadar peraga karena bukan jenis kerbau petarung. Bulunya yang unik serta memiliki mata seperti memakai softlens (lensa mata) menjadi keunggulannya.

“Kalau sudah dipotong, dagingnya tidak ada yang membedakan dengan daging kerbau lain. Dia hanya istimewa jika masih hidup. Makanya orang yang menyumbangkan tedong Saleko pada perayaan Rambo Solo seperti ini berarti dia punya sistem kebangsawanan yang tinggi,” pungkas Predy lagi.

Pada perayaan Rambo Solo di Palataran Duka Tongkonan Tiroranu Siguntu, Rabu 28 Desember kemarin, tedong Saleko ini menyedot banyak perhatian pengunjung. Tidak jarang yang mengabadikan dengan berfoto. Tedong Saleko itu diikat tepat di depan salah satu lantang-lantang (rumah-rumah, red) di pelataran duka. Matanya yang unik dan pusaran bulu yang banyak serta mengkilap menjadi alasan pengunjung tertarik dengan tedong Saleko itu. Yang paling utama tentu informasi mengenai harganya yang sampai ratusan juta rupiah.

Soal pemeriharaan, tedong Saleko ini memang membutuhkan perhatian ekstra. Selain butuh mandi dua kali sehari dengan menggunakan sampoh, tedong ini juga harus disuapi saat makan.

Gembala atau yang lebih familiar di Toraja disebut Passoma, Bapak Paran membeberkan dia dibantu anaknya memperhatikan betul tedong Saleko yang dia pelihara itu. Bahkan Paran rela kelaparan asal tedong Saleko yang dia pelihara tidak merasakan kelaparan.

“Saya saja tidak pakai sampoh, tapi Saleko ini tiap mandi dua kali dalam sehari pasti dipakekan sampoh. Kalau makan saya suapi dan kalau tidur saya pakekan kelambu,” kata warga Kadundung itu.

Bukan hanya itu, tedong Saleko itu mempunyai dokter khusus dari Dinas Kesehatan Toraja. Setiap tiga bulan sekali tedong Saleko itu diperiksa dan diberikan pil berupa vitamin serta suntikan.

Sementara itu, kandangnya juga harus selalu bersih dan bebas dari kotorannya sendiri. “Kalau buang air itu langsung saya disikat dan disiram,” katanya.

Paran mulai memeliharan tedong Saleko termahal itu saat kerbau itu berumur dua tahun. Tedong Saleko itu dimiliki dan disumbangkan oleh seorang pengusaha swasta dari Jakarta yang masih merupakan keluarga almarhumah Agnes Datu Sarunggallo yakni Edison Rombe.

Soal bayaran memelihara tedong Saleko, Paran mengaku mendapat bagi dua dari keuntungan modal awal. Tapi untuk pembuatan kandang dan pemeliharaan berupa pembelian sampoh dan pemeriksaan kesehatan semua ditanggung pemilik.

“Tidak sembarang juga yang bisa memelihara karena kita harus punya tanah yang khusus ditumbuhi rumput untuk makanannya. Kita juga harus bisa bersabar dan menyayangi kerbau ini seperti kita memelihara istri atau anak kita, bahkan lebih dari itu,” beber Paran.

Selain tedong Saleko itu, hal menarik lainnya yang sangat menyedot perhatian pengunjung yakni acara pertarungan kerbau atau silaga tedong. Dua kerbau yang bertarung pada pelaksanaan silaga tedong itu mendapat semangat dari pendukung masing-masing dengan teriak yang khas.

Sayang, kerbau milik Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang turun pada ronde pertama kalah melawan kerbau milik Paulus. Pertarungan ronde pertama ini termasuk yang paling seru karena kerbau milik Prabowo yang sudah kalah melarikan diri ke arah penonton. Sontak para penonton berhamburan sambil berteriak histeris.

Pada setiap pertarungan, kerbau yang sering muncul sebagai pemenang memiliki penggemar tersendiri di arena pertandingan yang digunakan sebagai ajang hiburan rakyat serta pertaruhan uang antarwarga tersebut.

Sebelumnya, diadakan penyambutan bagi seluruh tamu dari keluarga almarhumah yang datang. Mereka disambut dengan acara penyambutan adat dengan iring-iringan pemuda dan pemudi Toraja lengkap dengan pakaian adat Toraja. Seluruh rombongan berjejer pada urutannya masing-masing. Rombongan pertama diawali oleh rombongan keluarga Puang Sangalla yakni keluarga Puang Atto Sakmiwata Sampetoding disusul keluarga mantan Pandam VII Wirabuana, Djoko Susilo Utomo diikuti keluraga yang lain.

Minggu, 01 Januari 2012

Tongkonan masuk daftar warisan budaya dunia

RANTEPAO, FAJAR -- Rumat adat Tana Toraja, Tongkonan, diusulkan pemerintah Indonesia masuk dalam daftar warisan budaya dunia. Rumah adat Toraja itu telah masuk dalam daftar antre 1.038 di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

“Penetapan Tongkonan sebagai warisan dunia menunggu konvensi UNESCO tahun berikutnya,” ujar Staf Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Multikultur, Hari Untoro Drajat saat puncak perayaan Lovely December 2011 di Lapangan Dandim Rantepao, Toraja Utara, Kamis 29 Desember.

Menurut Hari Untoro yang mewakili Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari E Pangestu, sejak tahun 2010 pemerintah telah mengusulkan rumah adat Toraja itu masuk dalam daftar. Menurut dia, Tongkonan telah lama ada dan menjadi simbol kreativitas masyarakat Toraja sekaligus kekayaan budaya Sulsel.

"Kini tinggal tahap akhir penentuan. Insya Allah UNESCO akan memasukkannya sebagai bagian dari warisan budaya seperti budaya Indonesia lainnya yang masuk daftar," katanya.

Sebelumnya, warisan budaya Indonesia yang masuk dalam daftar representatif budaya "takbenda" warisan manusia yakni Wayang, Keris, Batik, dan Angklung. Empat warisan ini diputuskan melalui Konvensi UNESCO tahun 2003. Sedangkan Tari Saman asal Aceh masuk daftar saat Konvensi UNESCO di Bali November 2011 lalu.

Warisan budaya takbenda didefinisikan sebagai, segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan; serta alat-alat, benda (alamiah), artefak dan ruang-ruang budaya terkait lainnya yang diakui oleh berbagai komuniti, kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan ini diekspresikan dalam lima domain meliputi tradisi dan ekspresi lisan termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan, pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, dan kemahiran kerajinan tradisional.

Menurut Hari Untoro, momen Lovely December yang kini menjadi event resmi pariwisata nasional harus terus dikembangkan agar lebih dikenal dunia. Apalagi Indonesia telah mencanangkan tahun 2011 menjadi kunjungan wisatawan asing mencapai 7 juta orang. Sedangkan wisatawan nusantara 27 juta orang. Lewat Lovely December itulah diharapkan angka kunjungan terus naik.

"Sudah seharusnya kita bekerja lebih keras lagi, melalui pameran, pertunjukan seni, pemeran kerajinan, kuliner khas Tana Toraja. Semua itu akan memancing orang masuk ke Toraja," ungkapnya.

Sejumlah tamu penting hadir di puncak acara Lovely December di antaranya Wakil Duta Besar Jerman untuk Indonesia Heidrun Tempel, Kepala BNN Gorris Mere, Kapolda Sulsel Irjen Pol Johny Wainal Usman, Pangdam VII Wirabuana Mayjen  TNI Muhammad Nizam, dan sejumlah bupati se Sulsel.

Sementara itu Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo berjanji akan mempercepat perampungan bandara baru yang terletak di Buntu Kunyi, Kecamatan Mengkendek. Ditargetkan pada pelaksanaan Lovely Toraja di akhir 2012 mendatang, pesawat berbadan lebar sejenis ATR-42 sudah bisa mendarat di bandara pariwisata Toraja.

"Saatnya nanti, kunjungan kian ramai dan itulah yang kita inginkan. Turis yang ingin ke Toraja tak perlu lagi lewat Makassar, tapi bisa langsung ke Toraja melalui bandara tersebut," ungkap gubernur.

Syahrul menyatakan pariwisata Toraja tidak boleh kalah dari Bali, bahkan Malaysia dan Singapura. “Kita harus bangun kekuatan pariwisata kita dengan budaya. Adat Toraja ini tak ada samanya di dunia," katanya.

Gubernur berharap, penyelenggaraan "Lovely December" pada tahun-tahun berikutnya dapat diselenggarakan lebih besar dan bervariasi.

"Wisatawan mancanegara yang datang tidak hanya segelintir lagi, tapi mereka ada di setiap "Tongkonan" (rumah adat khas Toraja) menikmati indahnya Toraja," katanya yang menambahkan keindahan alam dan budaya Toraja harus semakin luas diketahui dunia.

Perayaan Lovely December mencapai puncaknya malam tadi. Pesta kembang api selama dua malam berturut-turut menghiasi langit Makale dan Rantepao dan ditutup dengan berbagai hiburan. Masyarakat lokal maupun pendatang tumpah ruah di berbagai pusat acara.

Pada kesempatan yang sama, gubernur juga menyerahkan bantuan APBN melalui program Gerakan Terpadu Pengembangan Desa (Getar Bangdes) di antaranya kelanjutan pembangunan air baku Silaga di Lembang Sapan, Paonagan, Pangkung Batu dan Prandangan.

Objek Wisata Kete Kesu juga mendapat bantuan Rp222 juta, pekuburan Toa Londa senilai Rp289 juta, penataan lingkungan tongkonan Kollo-kollo Rp164, 9 juta dan pembangunan monumen salib raksasa Rp1,1 miliar.

Bupati Toraja Utara Frederik Batti Sorring selaku tuan rumah pun mengklaim pelaksanaan Lovely December ke III tahun ini lebih sukses dari tahun sebelumnya. Hal itu dibuktikan dengan angka kunjungan dan belanja pariwisata dan budaya yang lebih besar. Hotel dan penginapan selama berlangsung acara full booking. Begitupula dengan belanja pariwisata dan budaya Toraja.

"Tahun ini kami harus mendatangkan 2.000 kerbau hidup dari luar Toraja, berasal dari NTT dan Kalimantan. Kebutuhan kerbau tak lagi mencukupi karena produksi lokal terbatas. Semua itu dipakai untuk pesta adat Rambu Solo dan Rambu Tuka. Ini potensi ekonomi yang luar biasa dan mestinya kita manfaatkan, terutama kabupaten tetangga," tutur bupati.

Dua hari terakhir pengunjung ke Toraja memang sedang membeludak. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menghadiri acara Rambu Solo keluarga Bupati Rudiyanto Asapa bahkan harus mengendarai motor karena terjebak macet di tempat acara.

10 traditional settlements or constituents in toraja

Tana Toraja Traditional Settlement is a series of 10 traditional settlements or constituents of them, such as burial or ceremonial grounds. The properties are scattered within Tana Toraja Regency in the Province of South Sulawesi, Indonesia. Tana-Toraja occupies about 3.205 km2 of a relatively hilly terrain with plateaus rising from 300 to 2,800 meters above sea level.
The nominated Tana Toraja Traditional Settlement consists of 10 sites which are dispersed in the Tana Toraja Regency (see part I). Traditionally, a Toraja settlement consists of a compound of houses (tongkonan) and granaries (alangs), burials (liang), ceremonial grounds with menhirs (rante), rice-fields, bamboo forests, and grazing ground or pasture for buffalo and pigs. However, not all the nominated sites possess all the settlement components, on account of developmental changes in each site. A brief description of the nominated sites is provided in part I Identification of the Property. The following descriptions present some complementary information about each site.
The properties of the proposed Tana Toraja Traditional Settlement can be briefly described as follows:
1. Pallawa Site
Pallawa site is also a compound of houses and granaries. In total there are 11 houses and 15 granaries. Like many Toraja compounds, the Pallawa houses and granaries are arranged in two parallel rows aligned east-west direction. The houses face north, while the granaries face south. The entrance is situated in the western side of the compound. The ceremonial ground lies about 350 meters to the east.
2. Bori Parinding Site
The site of Bori Parinding is a combination of ceremonial grounds and burials. The ceremonial ground is an open space used for traditional ceremonies, including rituals for the dead and thanksgiving. More than a hundred menhirs stand on the ceremonial ground, each representing a feast of merit performed in the past by a person of high status. Human remains are placed in stone chambers carved out of huge stone boulders, which lies scattered around the ceremonial ground. There are five tongkonan compound spread around the area. Bamboo is now planted in some places around the ceremonial ground to replace the extinct bamboo forest of the traditional settlement.
3. Kande Api Site
The site of Kande Api consists of a compound of houses and granaries, ceremonial ground and burial places. There are 4 houses and 11 granaries within the compound. The houses and granaries stand respectively in the southeast and northwest, facing each other. An open space of about 20 meters wide runs the length of the compound, separating the houses and granaries. The ceremonial ground is an elevated piece of land lying about 75 meters southwest of the compound. A church has been built in the north-eastern corner, surrounded by a considerable number of standing menhirs. Towering limestone cliffs lie some 25-50 meters north of the compound. In the past, the foot of these hills served as a burial site for the Kande Api people.
4. Nanggala Site
Nanggala site is principally a compound of 2 houses (tongkonan) and 16 granaries (alang), arranged in rows and aligned east-west. The houses and granaries lie respectively on the southern and northern ends of the compound, facing each other. Between them, an open space is used for social interaction and family gatherings. The compound is surrounded by a low stone wall with an entrance on the western side. To the east lies the ceremonial ground (rante) and graveyard, where several wooden coffin houses (patane) are placed.
5a. Buntu Pune Site
Formerly, the sites of Buntu Pune and Rante Karassik belonged to one integrated settlement. Buntu Pune was the dwelling compound and Rante Karassik was the ceremonial ground. Although these sites are now separated due to recent development, the sites still function as they did in the past. In this nomination, therefore, both sites are considered as a single unit of traditional settlement and numbered 5a and 5b respectively.
5b. Rante Karassik Site
The site of Rante Karassik is a ceremonial ground on a sloping hill. As mentioned above, this site is actually a part of the Buntu Pune traditional settlement. Until today, the Buntu Pune people still use the ground for certain ceremonies, in particular those connected with death. Since Rante Karassik is situated quite far from the Buntu Pune compound, the two sites appear to be quite separate. Uniting them is no longer possible, since recent development has resulted in a dense population of the area in between.
6. Ke'te Kesu' Site
Among the nominated sites, Ke'te' Kesu' is the most complete settlement. The site consists of a compound of houses and granaries, burial place, ceremonial ground, ricefields and water-buffalo pasture. The cultural landscape around Ke'te' Kesu' makes this area one of the most beautiful places in Tana Toraja.
Ke'te Kesu' compound comprises 6 Tongkonan houses and 12 granaries. The houses and granaries are laid out in the traditional arrangement and one of the houses serves as a museum. To the north, at a distance of about 50 meters, lies the ceremonial ground, displaying more than 20 menhirs.
7. Pala' Toke' Site
The site of Pala Toke is principally a burial place located on a towering limestone hill, from where a rice field extends to the north, east and west. A compound of 4 houses and 5 granaries, as well as a ceremonial ground displaying menhirs, lies about 200 meters north of the burial place.
8. Londa Site
Londa is a grave site where two methods of burial are customary. Here, the coffins of ordinary people are placed in caves and crevices at the foot of the hill, while the remains of persons of higher rank rest in burial chambers carved from the wall of the limestone cliff. The latter are accompanied by Tau-tau, placed close to the chamber. The higher the status of the deceased, the higher the chamber, which can be situated as far as 50 meters from the ground.
9. Lemo Site
Lemo is also a cliff burial site with galleries of ancestor statues. In contrast to Londa, coffins here are not deposited in caves or crevices at the foot of the hill. To the north lies a compound of four granaries and one Tongkonan.
10. Tumakke Site
The site of Tumakke displays a distinctive traditional house built on a raised terrace. Although its construction is no different to the common Toraja dwelling, the saddle-like roof of the Tumakke house is covered with stone slabs measuring 50-60cm long, 30-40cm wide and 5-10cm thick. On the north-eastern side of the house, at a distance of some 5 meters, stands a small granary.
Justification for Outstanding Universal Value
Justification of Outstanding Universal Value
The nominated Tana Toraja Traditional Settlement is significant for a number of reasons.
Tana Toraja Traditional Settlement and culture still retain the characteristics of early Austronesian culture. These can be demonstrated by Toraja cosmology, ceremonies, settlement arrangement, houses, decorations, and the role of water buffalo. In this regard, the heritage has an indispensable scientific value as a source of analogy to study the past.
Elements of Tana Toraja Traditional Settlement, such as tongkonan house, arrangement of settlement, and decorative art, demonstrate an outstanding design, technique, functional concept, and workmanship. Hence, definitely the heritage has relative artistic and technical values.
Tana Toraja Traditional Settlement is a part of living tradition. It is a manifestation of Aluk Todolo, the Toraja belief system which governs the life of the society. It is related to various ceremonies and customs within the Toraja cultural system. Indeed, it has emotional ties with the society. The nominated heritage has a strong identity as well as social values not only for Toraja people but also for Austronesian ethnic groups which makes up the majority of the Indonesian population.
Tana Toraja Traditional Settlement demonstrates its potential for cultural tourism. The cultural landscape created based on local wisdoms may bring awareness on the nature-culture relation. This means that the heritage has educational value.
From the above, it is clear that the nominated Tana Toraja Traditional Settlement is significant for a number of reasons.
Satements of authenticity and/or integrity
The Tana Toraja Traditional Settlement is a living tradition. It is a heritage that has been handed over from generation to generation for at least 700 years or even longer back to prehistoric time. Indeed, as a living culture, changes occurred along the time. Torajans, who are used to live in an isolated hill, had moved to low land. Burial customs had also changed especially since the seventeenth century when the Buginese from the coastal area to south invaded Tana Toraja. Prior to that time, human remains and precious burial gifts were stored in elaborately carved wooden coffins. During the invasion, lots of the precious gifts and beautifully decorated coffins were destroyed. Since then, Torajans began to make less decorated coffins and placed them high on the cliff-face vaults, reserving more intricate carving for the tomb doors and portrait statues of the deceased, tau-tau. More recently, bamboo forest were replaced with cash crops.
However, all of these changes should be understood as a dynamic process that commonly occurs within a living culture. These changes are part of the historical stratification. The nominated Tana Toraja Traditional Settlement meets the test of integrity and authenticity in many aspects such as cosmology, burial customs and ceremonies, settlement pattern, housing construction, and ornamental design. As explained in point 2 (a) above, the Torajan cosmology represents an ancient cosmology common to pre-state Southeast Asian communities which is now vanishing. The Toraja burial custom and ceremonies are exclusive. Such complicated and expensive ceremonies sustain many aspects of prehistoric megalithic culture which cannot be found in any other part of the world today.
Comparison with other similar properties
Aside from Toraja, living megalithic cultures still exist in some places in Indonesia, mainly among the Batak (Sumatra), and the islands of Nias (west of Sumatra), and Sumba (in Lesser Sunda Islands). All of them have been influenced by modern culture to varying extents. There are indeed some basic similarities among these living megalithic cultures, especially in cosmology, settlement pattern, ornamental design, and subsistence, since they have a common root in the prehistoric culture of Early Austronesians. However, none of them are identical and each demonstrates peculiarities of its own.
The Batak people who live on Samosir islet in the middle of Lake Toba in the interior of North Sumatera still maintain their traditional houses, settlement patterns, and ornamental design. But they do not construct stone monuments anymore and practice less elaborate secondary burial custom. Similarly, the people of Nias still maintain their traditional house, settlement patterns, and ornamental design. Ceremonies for the dead as well as thanksgiving festivals are conducted, but are not as complex as in Toraja. Upright stones are erected only occasionally within the housing compound. The people of Sumba continue to build megalithic structures, but elaborate and expensive ceremonies for the dead have been abandoned.
Tana Toraja Traditional Settlement and culture differs in many aspects to other living megalithic traditions in Indonesia. Toraja burial customs with their elaborate and complex ceremonies, numerous water-buffalo sacrifices and varied burial methods (hanging coffins, rock chambers, cave burial), have no other living comparison.

Masyarakat dan Kebudayaan "Suku Toraja" di Sulawesi Selatan

Sejarah Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.



Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Identitas etnis

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

Sejarah



Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja.Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Masyarakat

 

1. Keluarga

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.


Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

2. Kelas Sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Agama 

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Kebudayaan

 

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran Kayu

 

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

Upacara Pemakaman

 

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. 


Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.


Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

 

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.


Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja