Jumat, 13 Januari 2012

Upacara Adat Rambu Solo


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian  selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara  penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang  “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang  hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan  minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara  ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi  arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa  pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi  sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan  mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal  dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan  oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang  dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.  Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara  24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah  50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi  berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat  pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja  dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar  upacara ini.
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut  dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”.  Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu  menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan,  mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi  budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan  adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa  musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta  beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,  passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara  yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas  leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang  bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar