Senin, 23 April 2012

Kisah Topada Tindo Untulak Buntunna Bone

Ilustrasi
ALKISAH, Tondok Lepongan Bulan sejak dulu tidak pernah diperintah oleh seorang Raja atau Penguasa secara langsung seperti di daerah lain, tetapi Tondok Lepongan Bulan adalah negeri yang berdiri sendiri dalam bentuk suatu kesatuan atau Rumpun Adat dan tata kehidupan suku Toraja.
Keadaan yang demikian menyebabkan Kesatuan Negeri Tondok Lepongan Bulan ini sangat mudah dimasuki oleh pengaruh dari luar.
Dalam sejarah Toraja beberapa kali pengaruh luar masuk ke Toraja terutama ketika kerajaan – kerajaan di sekitar mulai berkembang.
Sekitar abad ke-15, sejumlah pedagang – pedagang barang porselen, tenunan dan berbagai perhiasan emas masuk ke Tondok Lepongan Bulan. Mereka melalui daerah selatan dan pedagang pertama yang terkenal adalah pedagang besar Jawa yang bernama Puang Rade’. Orang inilah yang mengajari masyarakat Toraja cara menempa emas yang disimpan oleh bangsawan Toraja, dan mulai saat itu juga emas tdl lagi dijual dalam bentuk bijih emas (Bulaan Bubuk) tetapi sudah dalam bentuk perhiasan. Puang Rade’ banyak meninggalkan pengikutnya dan kawin mawin dengan bangsawan di Toraja yang lana kelamaan turut mengambil peranan dalam masyarakat. Namun kedatangan pedagang Jawa ini tidak berlangsung lama karena persaingan dengan pedagang asal Bugis yang memasuki Toraja setelah mendengar bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas.
Setelah putus hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 maka mulailah pedagang Bugis memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’ karena mengetahui bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa.
Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang mulai menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.
Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis ini, dan menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya, maka ada beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei). Judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.
Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.

Munculnya Topada Tindo

Dengan meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’ Allo yang terus mengadakan arena perjudian, akibatnya mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.
Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Untuk maksud ini, Pong Kalua’ berpura – pura mengawini adik Pakila’ Allo, karena dapat dengan mudah mengikuti jejak Pakila’ Allo sementara itu ia pun membentuk persekutuan dengan orang lain untuk membunuh Pakila’ Allo. Hingga suatu waktu mereka berusaha membunuh Pakila’ Allo, akan tetapi Pakila’ Allo hanya luka ringan. Kemudian Pong Kalua’ membuatkan obat yang telah dicampur dengan racun (Ipo), dan ditaruh di atas luka Pakila’ Allo sehingga Pakila’ Allo tewas seketika. Setelah Pakila’ Allo meninggal, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.
Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :
1) Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu
2) Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira
3) Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.
Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.

Di daerah Bambapuang, seluruh pemimpin dan anggota Topadatindo mengikrarkan sebuah janji dan sumpah yang disebut Basse Kasalle :

“Tangla kendek penduan pentallun to Bone la ma’takinan la’bo’ ma’tetangan mataran, apa mintu’na mataranna sia pabenga’na lakendek pasiu’ sando pakengke lalipan kedenpi to laullutu tombang lili’na Tondok Lepongan Bulan dst……”
“Orang – orang Bone tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya untuk memerangi Toraja dst…….”
Dengan selesainya Basse Kasalle Lepongan Bulan, maka kekacauan di Tondok Lepongan Bulan berakhir dan disebut “Manda’mi salli’na Tondok Lepongan Bulan, Bintinmi Gonting Babanganna Tana Matarik Allo” artinya pintu Tondok Lepongan Bulan telah tertutup rapat dari gangguan luar. Pembacaan ikrar ini diikuti dengan Upacara kemenangan Topadatindo Tomisa’ pangimpi di Bambapuang. Menurut sejarah seorang Imam Tominaa Ne’ Tikuali dari Ba’tan mengucapkan doa dan sumpah sakti dengan didampingi oleh Banggai dari Salu.
Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “
“Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”
Artinya :
“Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone”
Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo. Sejak itu hubungan kedua daerah pulih kembali dan pada awal abad ke-18 pedagang Bugis kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata – senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka mulailah terjadi perang saudara dan penjualoan budak dari yang kuatu ditukar dengan senjata api.
Perang terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Andi Guru”.
Kedatangan pemimpin perang Bugis tersebut adalah dalam rangka perang Kopi di Toraja sekitar tahun 1889 – 1890 , yaitu perang terbuka antara pedagang Kopi dari Bugis Sidenreng dan Sawitto melawan pedagang dari Luwu’ dimana masing-masing bersekutu dengan bangsawan di Toraja. Setelah Perang Kopi berakhir tanpa ada yang dinyatakan kalah, sebagian Ande Guru kembali termasuk Petta Punggawae dan ada yang tinggal mengikuti perang saudara termasuk Wa’ Situru’ bahkan ada yang kemudian menikah dengan bangsawan Toraja. Perang saudara yang tiada henti – hentinya ini berlangsung sampai masuknya tentara kolonial Belanda pada tahun 1906 dan bermarkas di Rantepao pada bulan Maret 1906.

Riwayat pong tiku

Pongtiku lahir sebagai anak bungsu dari pasangan suami istri Karaeng dan Le’bok pada petengahan Abad ke XIX (1846) di Tondon Pangala’. Karaeng adalah penguasa adat Pangala’ dan sekitarnya. Karena kemampuan dan kepemimpinan Pongtiku yang menonjol, maka sekalipun ia anak bungsu dialah yang menggantikan ayahandanya sebagai penguasa tatkala ayahnya sudah tua.
Sebelum Angkatan Perang Belanda datang di Tana Toraja, orang Toraja telah mempunyai hubungan dagang dengan orang Bugis.
Toraja Selatan dan Toraja Barat menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito sedang Toraja Utara mitra dagangnya adalah kerajaan Bone dan Luwu.
Pimpinan orang Bugis dan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito adalah Petta Manyoro Lolo (Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sidenreng) yang kemudian diketahui bernama Petta Serang, anak dari Raja Sidenreng, sedang pimpinan orang Bugis dari Kerajaan Bone dan Luwu adalah Petta Punggawa (Panglima tertinggi Angkatan Perang Bone, yang juga adalah Putra mahkota dengan nama Andi Baso’ Abdul Hamid)
Melalui hubungan dagang antara orang Bugis dan orang Toraja tersebut pemimpin-pemimpin Toraja dapat mengetahui bahwa akan pecah perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau lagi mengakui Perjanjian Bungaya yang mengatur hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan yang sangat merugikan.
Untuk mengantisipasi perang yang akan pecah dalam waktu tidak lama penguasa-penguasa Toraja mengadakan musyawarah di Tongkonan Buntu Pune Kesu’ (Kediaman Pongmaramba’) dan mencapai kesepakatan antara lain :
Menggalang persatuan antar penguasa dengan menghilangkan semua benih-benih perpecahan dan mengangkat Pongtiku Panglima Perang sedang Pongmaramba’ dan penguasa-penguasa adat lainnya sebagai Panglima Pasukan Penghancur.
Kesepakatan mereka didasari motto : “Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate”.
Selesai musyawarah, Pongtiku kembali ke daerahnya untuk mempersiapkan dan menyiagakan benteng-bentengnya sebanyak 9 (Sembilan) buah menghadapi perang.
Pada bulan Maret 1906, pasukan Angkatan Perang Belanda di bawah Pimpinan Kapten Killian dengan tujuan melucuti dan mengumpulkan senjata api dari semua penguasa Toraja. Komandan pasukan Belanda memerintahkan Pongtiku datang menghadap dan menyerahkan semua senjata yang dimilikinya. Pongtiku menolak, malah ia menyiagakan semua benteng-bentengnya menghadapi perang.
Perang perlawanan Pongtiku dalam daerahnya sendiri berlangsung selama kira-kira 6 bulan (Mei s/d Oktober 1906) dengan 6 kali pertempuran dan 1 kali pengepungan selama kira-kira 4 bulan (Juli s/d Oktober 1906).
Pertempuran tanggal 1 Juni 1906 untuk mempetahankan Benteng Buntu Asu dari serangan Angkatan Perang Belanda di bawah Komando Kapten De Last yang dilakukan dalam 3 gelombang semuanya kandas di muka Benteng dengan menelan banyak korban, Angkatan Perang Belanda dipukul mundur dan dihalau kembali ke Rantepao.
Pongtiku adalah penantang utama datangnya penjajah Belanda di Tana Toraja dan Toraja Utara dan dengan gigih dan gagah perkasa dengan segala kemampuan yang ada padanya mengobarkan perang lebih setahun lamanya, tepatnya dari bulan Mei 1906 s/d Juli 1907.
Ia bertahan dan menyerang musuhnya dari benteng-benteng yang jumlahnya 9 buah yang telah dipersipakan sejak dini. Perang Pongtiku melawan Belanda bukanlah tindakan spontanitas akan tetapi adalah perang yang direncanakan dan dipersiapkan dengan matang yangn merupakan bagian integral dari perang perlawanan Raja-Raja di Sulawesi Selatan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda disebut sebagai Perang Bone III. Demikian hebatnya pertahanan dan perlawanan Angkatan Perang Pongtiku terhadap gempuran Angkatan Perang Belanda, mengharuskan Letjen Swart yang dijuluki oleh Belanda sebagai Pasifikator Van Aceh (Pengaman Aceh) mengambil Komando pertempuran melawan Angkatan Perang Pongtiku yang bertahan tak terkalahkan dalam Benteng Batu di Baruppu’.
Belanda dengan menggunakan taktik seperti taktik yang digunakan terhadap Pangeran Diponegoro, Pongtiku menerima Case Fire, untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Belanda. Kesempatan ini digunakan oleh Belanda untuk membatasi gerak Pongtiku, tetapi Pongtiku menggunakan pula kesempatan yang sama untuk menyelenggarakan Upacara Pemakaman kedua orang tuanya yang wafat dalam Benteng menurut adat Toraja. Sehari sebelum selesai upacara pemakaman kedua orang tuanya, Pongtiku dengan sejumlah pasukan kembali ke medan juang bergabung dengan teman-teman seperjuangannya di Benteng Ambeso yang dipimpin oleh Bombing dan Ua’ Saruran dan Benteng Alla’ dalam Wilayah Enrekang.
Setelah Benteng Ambeso dan Benteng Alla’ jatuh ke tangan Belanda pada Bulan Januari 1907 Pongtiku tidak tertawan, ia berhasil lolos bersama pasukannya kembali ke wilayah kekuasaannya. Dengan petunjuk mata-mata Belanda ia tertangkap lalu di bawa ke Rantepao. Tanggal 10 Juli 1907, ia dieksekusi dan gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa di pinggir Sungai Sa’dan, tepatnya di tempat dimana Tugu Peringatan baginya didirikan di Singki’ Rantepao.
Meneliti sejarah perjuangan bangsa melawan Pemerintah Hindia Belanda dapatlah diketahui bahwa Pongtiku adalah penantang terakhir yang mengobarkan perang klasik terakhir tahun 1906-1907 di Wilayah Sulawesi Selatan sesuai sumpah yang diucapkannya “Iatu Tolino Pissanri Didadian sia Pissanri Mate Iamoto Randuk Domai Tampak Beluakku Sae Rokko Pala’ Lette’ku Nokana’ Lanaparenta Tumata Mabusa” (Manusia hanya sekali dilahirkan dan mati, dari ujung rambut sampai telapak kakiku saya tidak akan rela diperintah oleh Belanda)
Pengorbanan tidak sia-sia karena setahun setelah Pongtiku gugur tahun 1907. Pada tahun 1908 bangkitlah perlawanan modern yang dimulai dengan gerakan Budi Utomo atau Kebangkitan Nasional yang disusul dengan perlawanan-perlawanan dari pahlawan dan pejuang-pejuang bangsa yang mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Berdasarkan perjuangan Pongtiku, Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden RI Nomor : 073/TK/2002 tanggal 6 Nopember 2002, Pongtiku ditetapkan dan disahkan sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian riwayat singkat Pahlawan Nasional Pongtiku

pong tiku

Pong Tiku (Toraja, 1846 - Rantepao, Tana Toraja, 10 Juli 1907) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan. Pong Tiku sering juga dipanggil Nene Baso adalah pahlawan nasional yang berjuang melawan penjajahan kolonialisme Belanda di Toraja.
Tentara Belanda pertama kali datang ke Toraja pada tahun 1906. Sekalipun perlawanan Pong Tiku dan kawan-kawan sangat heroik, Belanda kemudian menang melalui tipu muslihat yang berakhir dengan eksekusi Pong Tiku di tepi sungai di Sa'dan, Rantepao pada tahun 1907. Sekarang di atas tempat dihukum matinya Pong Tiku (terletak di Jalan Benteng Batu Rantepao) dibangun sebuah tugu peringatan/prasasti yang menceritakan perjuangan Pong Tiku berikut kutipan prasasti itu:
PAHLAWAN PONGTIKU
1850 :Pongtiku lahir di Rindingallo
1906 Maret :Belanda menduduki Rantepao, Belanda mengirim ultimatum supaja pongtiku menjerah, Pongtiku membalas lebih baik mati daripada menyerah
1906 April :Pertempuran di Tondon Pangala'
1906 Djuni:Pertempuran di Benteng Lali' Londong
1906 Djuni:Permintaan Belanda berunding ditolak
1906 Djuli:Pertempuran di Benteng-Benteng Buntu Asu Ka'do dan Tondok
1906 Agustus:Pertempuran di Benteng Rindingallo
1906 Oktober:Gentjatan Sendjata
1906 November:Belanda dengan siasat Litjiknja Melutjuti semua sendjata pasukan Pongtiku
1907 Djanuari:Pongtiku dengan pasukan menggabung dengan pasukan Bombing di Alla
1907 Maret:Benteng Alla jatuh, Pongtiku kembali ke Pangala'
1907 Djuni 30:Pongtiku ditangkap dan ditahan di Rantepao
1907 Djuli 10:Pongtiku ditembak mati di tempat di tepi sungai Sa'dan

Minggu, 22 April 2012

Tana Toraja : Negerinya Orang Mati yang Hidup

Terlindung aman di luar gunung tinggi dan tebing batu granit, inilah tempat dimana  masyarakat Toraja tinggal, di sebuah lembah subur dengan terasering sawah menghijau dan perkebunan kopi yang subur. Inilah salah satu tempat terindah di Indonesia yang menyimpan daya magis dalam kultur extravaganza Tana Toraja serta bebatuan megalitik Lore Lindu.
Pesonanya terkuak ketika tengkorak-tengkorak manusia menunjukan kemisteriusannya kepada Anda juga puluhan kerbau dan babi yang pasrah disembelih untuk upacara kematian demi sebuah ritus ‘Orang Mati yang Hidup’ .
Di sinilah Anda dapat melihat situs makam pahat di Lemo, makam goa purba di Londa, menhir di Rante Karassik, dan perkampungan Kete Kesu unik. Semuanya terpeliharanya dalam bingkai adat budaya karena masyarakatnya sangat menghormati leluhur dengan tetap menjaga eksistensi pekuburannya.
Tahun 2004, berkat kekayaan budayanya, Tana Toraja dimasukkan dalam daftar sementara warisan budaya dunia oleh UNESCO (Inscription World Heritage-C1038). Menyambut hal ini masyarakat Toraja menggelar upacara Pesta Toraja (Toraja Fiesta) di pasar seni Rantepoa, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Acara tersebut menyuguhkan serangkaian tarian dan atraksi dari 15 kecamatan di Tana Toraja. Toraja Fiesta adalah salah satu perwujudan Rambu Tuka’, ungkapan kegembiraan
Ketika Anda pergi ke dataran tinggi Tanah Toraja maka bersiaplah terpesona keindahan alamnya yang menakjubkan. Di saat yang sama ada daya tarik dari masyarakatnya telah mempertahankan kepercayaan dan tradisi mereka dalam siklus kehidupan yang kekal dan kematian di Bumi.
Jalan dari Makassar ke Toraja sepanjang pantai sekitar 130 km kemudian berakhir di  pegunungan. Setelah masuk ke Tana Toraja di pasar Mebali maka Anda akan memasuki pemandangan luar biasa berupa batu granit abu-abu dan pegunungan biru. Keindahan ini sempurna dalam balutan kontras tumbuhan hijau.
Di sini, bangsawan Toraja diyakini keturunan dewa yang turun dengan tangga surgawi untuk tinggal di Bumi dengan alamnya yang indah ini.
Untuk menjaga kekuatan tanah dan rakyatnya, masyarakat Toraja percaya bahwa tanah ini harus dipertahankan melalui ritual untuk merayakan mereka hidup dan yang telah mati, melekat saat musim taman. Di Toraja kehidupan secara ketat dipisahkan dari upacara kematian.
Toraja terkenal dengan upacara kematian yang dapat berlangsung selama berhari-hari melibatkan seluruh penduduk desa. Tidak hanya pada saat berkabung tetapi juga untuk acara hiburan dan persaudaraan komunitas yang ada.
Upacara kematian, diadakan setelah musim panen selesai. Biasanya antara bulan Juli dan September. Sementara upacara kehidupan digelar saat musim tanam di bulan Oktober. Saat itu penguburan tidak di lakukan dengan segera tetapi ditunda selama beberapa bulan bahkan kadang bertahun-tahun, disimpan di rumah khusus hingga waktu yang tepat dan tersedianya dana.
Anda yang datang ke Toraja tertarik pada keunikan budaya juga pada ritualnya. Berpusat pada upacara penguburan dan kuburannya. Sementara yang lainnya memilih untuk melakukan trekking ke pedesaan sekitar Toraja yang hampir tak tersentuh. Mencumbu desa-desa terpencil atau berarung jeram di Sungai Sa'dan.
Ibu kota Toraja adalah Makale tetapi pengunjung biasanya pergi ke kota Rantepao, sebuah jantung Tana Toraja.